Selasa, 23 November 2010

Bila Cinta Menyapa oleh Dian Aja pada 02 November 2010 jam 21:54

Bila Cinta Menyapa
Kategori Aqidah

Cinta bikin orang gila’, begitu kata sebagian orang. Barangkali ada benarnya. Buktinya, banyak kita saksikan para pemuda atau pemudi yang rela melanggar aturan-aturan agama demi mencari keridhaan pacarnya.

Alasan mereka, ‘cinta itu membutuhkan pengorbanan’. Kalau berkorban harta atau bahkan nyawa untuk membela agama Allah, tentu tidak kita ingkari. Namun, bagaimana jika yang dikorbankan adalah syariat Islam dan yang dicari bukan keridhaan Ar-Rahman? Semoga tulisan yang ringkas ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita bersama, agar cinta yang mengalir di peredaran darah kita tidak berubah menjadi bencana.
Allah ta’ala berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ
جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
Di antara manusia ada yang mencintai sekutu-sekutu selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah, adapun orang-orang yang beiman lebih dalam cintanya kepada Allah. Seandainya orang-orang yang zhalim itu menyaksikan tatkala mereka melihat adzab (pada hari kiamat) bahwa sesungguhnya seluruh kekuatan adalah milik Allah dan bahwa Allah sangat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al-Baqarah : 165)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “Allah menceritakan bahwa mereka (orang musyrik) mencintai pujaan-pujaan mereka/sesembahan tandingan itu sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Maka hal itu menunjukkan bahwa mereka juga mencintai Allah dengan kecintaan yang sangat besar.

Akan tetapi hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam. Lalu bagaimana jadinya orang yang mencintai pujaan (selain Allah) dengan rasa cinta yang lebih besar daripada kecintaan kepada Allah? Lalu apa jadinya orang yang hanya mencintai pujaan tandingan itu dan sama sekali tidak mencintai Allah?” (sebagaimana dinukil dalam Hasyiyah Kitab Tauhid, hal. 7. islamspirit.com).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan : “Allah ta’ala menyebutkan tentang kondisi orang-orang musyrik ketika hidup di dunia dan ketika berada di akhirat. Mereka itu telah mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah yaitu [sesembahan-sesembahan] tandingan. Mereka menyembahnya disamping menyembah Allah. Dan mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Dia itu adalah Allah yang tidak ada sesembahan yang hak kecuali Dia, tidak ada yang sanggup menentang-Nya, tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan tiada sekutu bersama-Nya.

Di dalam Ash-Shahihain [Sahih Bukhari dan Muslim] dari Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu’anhu-, dia berkata : Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, dosa apakah yang terbesar.” Beliau menjawab : “Yaitu engkau mengangkat selain Allah sebagai sekutu bagi-Nya padahal Dialah yang menciptakanmu.” Sedangkan firman Allah, “adapun orang-orang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” Hal itu dikarenakan kecintaan mereka (orang yang beriman) ikhlas untuk Allah dan karena kesempurnaan mereka dalam mengenali-Nya, penghormatan dan tauhid mereka kepada-Nya. Mereka tidak mempersekutukan apapun dengan-Nya. Akan tetapi mereka hanya menyembah-Nya semata, bertawakal kepada-Nya dan mengembalikan segala urusan kepada-Nya…” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, I/262)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan : “Allah ta’ala mengabarkan bahwasanya barangsiapa yang mencintai sesuatu selain Allah sebagaimana mencintai Allah ta’ala maka dia termasuk kategori orang yang telah menjadikan selain Allah sebagai sekutu. Syirik ini terjadi dalam hal kecintaan bukan dalam hal penciptaan dan rububiyah… Karena sesungguhnya mayoritas penduduk bumi ini telah mengangkat selain Allah sebagai sekutu dalam perkara cinta dan pengagungan.” (dinukil dari Fathul Majid, hal. 320).

Syaikh Hamad bin ‘Atiq rahimahullah menjelaskan, “Orang-orang musyrik itu menyetarakan sesembahan mereka dengan Allah dalam hal kecintaan dan pengagungan. Inilah pemaknaan ayat tersebut sebagaimana dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah…” (Ibthaalu Tandiid, hal. 180).

Syaikhul Islam mengatakan : “Penyetaraan semacam itulah yang disebutkan di dalam firman Allah ta’ala tatkala menceritakan penyesalan mereka di akhirat ketika berada di neraka. Mereka berkata kepada sesembahan-sesembahan dan sekutu-sekutu mereka dalam keadaan mereka sama-sama mendapatkan adzab (yang artinya) :

“Demi Allah, dahulu kami di dunia berada dalam kesesatan yang nyata, karena kami mempersamakan kamu dengan Rabb semesta alam.” (QS. Asy-Syu’araa’ : 97-98).

Telah dimaklumi bersama, bahwasanya mereka bukan mensejajarkan sesembahan mereka dengan Rabbul ‘alamin dalam hal penciptaan dan rububiyah. Namun mereka hanya mensejejajarkan pujaan-pujaan itu dengan Allah dalam hal cinta dan pengagungan…” (dinukil dari Fathul Majid, hal. 320-321)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan : “Kecintaan orang-orang yang beriman lebih dalam dikarenakan kecintaan tersebut adalah kecintaan yang murni yang tidak terdapat noda syirik di dalamnya. Sehingga kecintaan orang-orang yang beriman menjadi lebih dalam daripada kecintaan mereka (orang-orang kafir) kepada Allah.” (Al-Qaul Al-Mufid, II/4-5).

Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa makna ‘orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah’ yaitu apabila dibandingkan dengan kecintaan para pengangkat tandingan itu terhadap sekutu-sekutu mereka. Karena orang-orang yang beriman itu memurnikan cinta untuk Allah, sedangkan mereka mempersekutukan-Nya. Selain itu, mereka juga mencintai sesuatu yang memang layak untuk dicintai, dan kecintaan kepada-Nya merupakan sumber kebaikan, kebahagiaan dan kemenangan hamba.

Adapun orang-orang musyrik itu telah mencintai sesuatu yang pada hakikatnya tidak berhak sama sekali untuk dicintai. Dan mencintai tandingan-tandingan itu justru menjadi sumber kebinasaan dan kehancuran hamba serta tercerai-cerainya urusannya.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 80).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Sumber terjadinya kesyirikan terhadap Allah adalah syirik dalam perkara cinta. Sebagaimana firman Allah ta’ala, “Dan diantara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan, mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Adapun orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah : 165)…”

Beliau menegaskan : “Maksud dari pembicaraan ini adalah bahwasanya hakikat penghambaan tidak akan bisa diraih apabila diiringi dengan kesyirikan kepada Allah dalam urusan cinta. Lain halnya dengan mahabbah lillah. Karena sesungguhnya kecintaan tersebut merupakan salah satu koneskuensi dan tuntutan dari penghambaan kepada Allah. Karena sesungguhnya kecintaan kepada rasul –bahkan harus mendahulukan kecintaan kepadanya daripada kepada diri sendiri, orang tua dan anak-anak- merupakan perkara yang menentukan kesempurnaan iman. Sebab mencintai beliau termasuk bagian dari mencintai Allah. Demikian pula halnya pada kecintaan fillah dan lillah…” (Ad-Daa’ wad-Dawaa’, hal. 212-213)

Buktikan Cintamu!
Dari Anas radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai dia menjadikan aku lebih dicintainya daripada anak, orang tua dan seluruh umat manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata : “Maka keimanan tidak menjadi sempurna sampai Rasul lebih dicintainya daripada seluruh makhluk. Kalau demikian halnya yang seharusnya diterapkan dalam kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bagaimanakah lagi dengan kecintaan kepada Allah ta’ala?!!…” (Al-Qaul Al-Mufid, II/6).
Allah ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي
“Katakanlah : Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku.” (QS. Ali-’Imraan : 31). Syaikhul Islam berkata : “Maka tidaklah seseorang menjadi pecinta Allah hingga dia mau tunduk mengikuti Rasulullah.” (lihat Al-’Ubudiyah)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan : “Pokok dari seluruh amal perbuatan adalah rasa suka (cinta). Karena seorang manusia tidaklah melakukan sesuatu kecuali apa yang disukainya, baik dalam rangka mendapatkan manfaat atau untuk menolak madharat. Maka apabila dia melakukan sesuatu tentulah karena dia menyukainya, mungkin karena dzat sesuatu itu sendiri (sebab internal) seperti halnya makanan atau karena sebab eksternal seperti halnya meminum obat. Ibadah kepada Allah itu dibangun di atas pondasi kecintaan. Bahkan rasa cinta itulah hakikat dari ibadah. Sebab apabila anda beribadah tanpa memiliki rasa cinta maka ibadah yang anda perbuat akan terasa hambar dan tidak ada ruhnya. Karena sesungguhnya apabila di dalam hati seorang insan masih terdapat rasa cinta kepada Allah dan keinginan untuk menikmati surga-Nya maka tentunya dia akan menempuh jalan untuk menggapainya…” (Al-Qaul Al-Mufid, II/3)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa yang pada dirinya terdapat ketiganya niscaya akan merasakan manisnya iman; [1] Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, [2] dia mencintai orang lain tidak lain disebabkan cinta karena Allah, [3] dan dia tidak suka kembali kepada kekafiran sebagaimana dia tidak suka untuk dilemparkan ke dalam kobaran api.” (HR. Bukhari [15,20,5581,6428] dan Muslim [60,61] dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Tali keimanan yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya [92] dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu disahihkan Al-Albani dalam takhrij Kitabul Iman karya Ibnu Taimiyah).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Tanda kebenaran cinta itu ialah apabila seseorang dihadapkan kepadanya dua perkara, salah satunya dicintai Allah dan Rasul-Nya sementara di dalam dirinya tidak ada keinginan (nafsu) untuk itu, sedangkan perkara yang lain adalah sesuatu yang disukai dan diinginkan oleh nafsunya akan tetapi hal itu akan menghilangkan atau mengurangi perkara yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Apabila ternyata dia lebih memprioritaskan apa yang diinginkan oleh nafsunya di atas apa yang dicintai Allah ini berarti dia telah berbuat zalim dan meninggalkan kewajiban yang seharusnya dilakukannya” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 332).

Maka perhatikanlah wahai saudaraku kecenderungan dan gerak-gerik hatimu, jangan-jangan selama ini engkau telah menobatkan sesembahan selain Allah jauh di dalam lubuk hatimu; entah itu harta, kedudukan, jabatan, benda, atau sesosok manusia. Engkau mengharapkannya, menggantungkan cita-citamu kepadanya, takut kehilangan dirinya sebagaimana rasa takutmu kehilangan bantuan dari Allah ta’ala, sehingga keridhaannya pun menjadi tujuan segala perbuatan dan tingkah lakumu.

Halal dan haram tidak lagi kau pedulikan, aturan Allah pun kau lupakan. Aduhai, betapa malang orang-orang yang telah menjadikan makhluk yang lemah dan tak berdaya sebagai tumpuan harapan hidupnya. Sungguh benar Ibnul Qayyim rahimahullah yang mengatakan, “Sesungguhnya mayoritas penduduk bumi ini telah mengangkat selain Allah sebagai sekutu dalam perkara cinta dan pengagungan.” (dinukil dari Fathul Majid, hal. 320).

Semoga Allah menyelamatkan hati kita dari tipu daya Iblis dan bala tentaranya, dan semoga Allah meneguhkan hati kita untuk menjunjung tinggi kecintaan kepada-Nya di atas segala-galanya. Sebab tidak ada lagi yang lebih melegakan hati dan perasaan kita selain tatkala Allah ta’ala telah menetapkan cinta-Nya untuk kita, sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengabulkan doa. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi-Nya, segala puji bagi Allah Rabb penguasa seluruh alam semesta.


Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Dunia Pasti Berputar oleh Sastra Sang Pengembara pada 20 Oktober 2010 jam 15:06

Dunia pasti berputar Ada saatnya semua harus berubah Ingat pasti bertukar Kita harus siap hadapi semua Ikhlaskan segalanya Jalani semua yang ada di dunia
Dunia pasti berputar Ada saatnya semua harus berubah Ikhlaskan segalanya Jalani semua yang ada
Dunia pasti berputar Ada saatnya semua harus berubah Ingat pasti bertukar Kita harus siap hadapi semua Ikhlaskan segalanya Jalani semua yang ada
Tuhan pasti berikan kita Segala yang indah Dengan segala anugerah ‘tuk kita Yakinkan kita pasti bisa jalani semua Jagalah semua yang telah ada ‘tuk hidup kita
Dunia pasti berputar Ada saatnya semua harus berubah Ingat pasti bertukar Kita harus siap hadapi semua Ikhlaskan segalanya Jalani semua yang ada di dunia

Salahkah Aku Mempertanyakan Kesuciannya..?

Melihat fenomena yang kini semakin merajalelanya pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan yang hampir tidak ada lagi batasan, menganggap free seex  sesuatu yang lumrah, menjadikan kesucian  sesuatu barang yang langka..Inilah pengakuan sekaligus kegundahanku sebagai seorang laki-laki yang menginginkan kesucian itu disaat nanti aku ingin mendapatkannya pada orang yang halal olehku, aku yakin walaupun aku tak pernah melakukan survey paling tidak inilah yang mewakili kegelisahan seorang lelaki umumya seperti aku tentang calon isterinya kelak. Sekaligus hasil percakapanku dengan seorang Ustadz.

   Pada suatu ketika aku bertemu dengan seorang Ustad muda, di awali dari percakapan ringan sampai akhirnya percakapan ‘berat’. ”Kenapa antum tidak segera menikah, padahal usia antum sudah waktunya?”. Tanyanya padaku, mengawali perbincangan itu. “Ustad, lagi belum siap, hehehe” jawabku sekenanya. ”Kalau antum tidak siap dari sekarang kapan siapnya?”. Tidak aku jawab, hanya ku balas dengan senyum setengah nyengir.. wah iya deh, pertanyaan yang susah-susah  rumit untuk ku jabarkan..

“Ustad..sebenarnya ana ini masih ragu….. kalimatku terputus terhimpun keraguanku, ……..kalau melihat pergaulan yang sedemikian parahnya,apa ia suatu saat nanti aku akan mendapatkan seorang isteri yang masih suci,perawan ?”.Ustad hanya tersenyum .  Tau apa artinya, karena aku tak pernah menanyakan senyumnya itu…hehehe

   Aku pun bertanya lagi..”Bagaimana jika ana, suatu saat menanyakan tentang kesucian seorang cewek yang akan menjadi calon isteriku…apakah itu salah?”. Lantas pertanyaanku  tidak membuatnya lansung menjawab..justeru ia balik bertanya..”Lalu jika jawabannya ya, sudah tidak perawan, apakah akhirnya  antum tidak menikahinya, membatalkannya..?”.  Aku terdiam sejenak, lalu ku jawab “Ya itu aku bingung ustad,…kalau memang itu akhirnya aku tidak menjadikan ia menikah denganku, aku harap dia maklum, itulah resiko yang harus dia terima, kenapa dia sewaktu  melakukannya dengan orang lain tidak   pernah berfikir bagaimana nanti calon suaminya?, kalaupun akhirnya aku menerima keadaannya dengan berbagai hal dan pertimbangan,  ya mungkin aku akan meneruskan rencana itu, tapi rasanya berat untuk itu, membayangkannya saja aku hampir-hampir  gak berani ustad……

Seandainya ana menikah lalu ternyata isteriku tidak suci lagi tanpa kuketahui sebelumnya misalnya, apa ia aku bisa menerimanya dan mempertahankan dia menjadi isteriku…atau malah menjadi berantakan karena aku kecewa merasa di khianati dan tertipu…atau berjalan tetapi tidak mendapat ketenangan bagai neraka?! kekhawatiranku bukan tanpa alasan, aku dulu pernah punya teman, begitu ia menikah dan  mengetahui isterinya sudah tidak perawan lagi..ia marah besar..lalu kemarahannya ia lampiaskannya..dengan minuman dan perempuan-perempuan malam, kalau memang tidak terima kenapa tidak diceraikan saja, pikirku saat itu, tapi justeru kok  malah berbuat maksiat yg lebih hina…Ternyata ia ingin apa yang ia rasakan biar juga dirasakan isterinya…wow saat itu aku berfikir ngeri sekali….

Egoiskah aku, jika aku mengharapkan yang menjadi hakku sebagai seorang lelaki, sebagai seorang suami?, salahkah aku meminta sesuatu yang  juga sesuatu itu aku bisa berikan kepada isteriku yang tidak orang lainpun kuberikan?. Jika seorang  laki-laki yang bejat saja yang tak layak mendapatkannya juga menginginkah seperti apa yang ku inginkan?. Dari pertanyaan ini sang Ustad akhirnya,“sudahlah, berdoa dan berusahalah,semoga Allah memberikan apa yang kamu inginkan”. aku yakin dia juga bisa merasakan kegundahan seperti apa yag kurasakan sebagai seorang lelaki…

Lalu, sang Ustad bertanya,”Lantas menurut pendapat kamu, bagaimana dengan para janda yang menginginkan lagi suami yang baik-baik , jika semua laki-laki berfikiran seperti kamu untk mendapatkan yang harus masih perawan?” Aku menjawab,“Maaf ustad, jika janda baik-baik itu bagiku adalah wanita suci, karena ia menyerahkan yang memang menjadi hak suaminya, dia melakukannya dengan orang yang memang menjaga …kehormatannya. Bukan semata-mata ia masih perawan atau tidak, tapi terlebih bagaimana ia bisa menjaga dan mempertaruhkan  kehormatannya sebagai seorang wanita, untuk tidak diberikan pada orang yang bukan pemiliknya…. Tapi ini berbeda jika sudah tidak perawan tanpa status, terasa hilang harga diri seorang lelaki, terasa hina. Sang Ustad menganguk dan tersenyum membenarkannya.. … selintas aku teringat sebait tulisan dalam buku Perempuan Bidadari, yang di tulis oleh kucil kecil;
  kehormatan, “Mendapatkan perempuan yang masih gadis, perawan, suatu kehormatan yang tidak tergantikan, kawan! Masih murni.”

Wahai para wanita yang menjaga dan terjaga kehormatannya, pertahankanlah mahkotamu itu hingga datang seseorang kepadamu yang halal olehmu yakni suami-suamimu yang berhak mendapatkannya…untuk kebaikanmu

 Untuk engkau Wanita yang telah terlanjur menghilangkannya tanpa yang di halalakan Allah, segeralah bertobat dan memohon ampunan-NYA, semoga dengan kebaikan(pertaubatan) yang kamu lakukan itu ALLAH SWT. mendatangkan jodoh-jodoh yang baik untukmu…….





“ Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”. (An Nuur:26)

SUATU PAGI oleh Nur Qalbi pada 05 November 2010 jam 2:25

Suatu pagi aku terbangun dan berpeluang melihat mentari terbit. Aaah.. kecantikan alam ciptaan Allah memaang tiada tolok bandingnya. Sedang aku memerhati, aku puji Tuhan atas segala keindahan yang telah Ia sajikan ity.aku duduk dan terasa kehadiranNya di sisiku. Dia bertanya kepadaku, “Adakah kamu mencintai Aku?” Aku menjawab, “Sudah tentu! Engkaulah Penciptaku, masakan aku tidak mencintaiMu.” Kemudian Dia bertanya lagi, “Jika kamu ditakdirkan cacat anggota, adakah kamu akan mencitaiKu?” Akun tergamam seketika. Aku lihat tangan, kaki dan seluruh anggotaku; aku teringat pelbagai kerja yang mustahil aku lakukan tanpa anggotaku ini yang selama ini tidak kusedari kepentingannya. Kemudian aku jawab, “Tentunya ia amat sukar bagiku, tetapi aku akan tetap mencintaiMu.”

Kemudian Dia bertanya lagi, “Jika kamu ditakdirkan buta, adakah kamu akan menyayangi segala ciptaanKu?” Bagaimana mungkin bagiku untuk mencintai sesuatu yang di dunia ini yang tak mampu aku lihat? Kemudian aku berfikir...ramai orang yang ditakdirkan buta di dunia ini, dan mereka masih mencintai Allah dan segala ciptaanNya. Lantas aku menjawab, “Amat sukar bagiku membayangkan keadaanku yang sedemikina rupa, namun begitu aku akan tetap menyintaimu Ya Allah.” Dia bertanya lagi, “Jika kamu ditakdirkan pekak, adakah kamu akan tetap mendengar kepada kata-kataKu?” Bagaimana mungkin bagiku mendengar jika aku pekak? Kemudian aku tersedar bahawa mendengar itu tidak semestinya menggunakan telinga; tetapi menggunakan hati. Aku jawab, “Walaupun takdir itu amat berat bagiku, namun aku akan tetap menyintaiMu.” Dia menyambung lagi persoalanNya, “Jika kamu ditakdirkan bisu adakah kamu akan terus memujiKu?” Aku tertanya lagi, bagaimana aku boleh memuji tanpa suara? Aku terfikir kemudian yang Allah mahu kita memujiNya dari dalam hati dan jiwa kita; tidak penting bagaimanakah bunyinya. Kemudian aku menjawab, “Sungguhpun aku tidak mampu untuk mambunyikan pujian bagiMu, aku akan tetap memujiMu.” Dan...

Dia terus betanya lagi, “Adakah kamu benar-benar menyintaiKu?” dengan nada yang tegas dan penuh keberanian. Aku jawab dengan yakin, “Ya, benar Tuhanku, aku menyintaimu kerana Engkaulah satu-satunya Tuhanku dan Tuhan yang sebenar!” Aku fikir jawapanku tadi sudah cukup bagus untuk menjawab soalanNya tadi, tetapi Dia terus bertanyakan lagi, “Kalau begitu kenapa kamu masih melakukan dosa?” Aku jawab, “Kerana aku cuma manusia bisa yang selalu lalai; aku tidak sempurna...aku bukan maksum.” “Kalau begitu, kenapa ketika kamu senang dan gembira...kamu lupakanKu; kamu lari jauh daripadaKu? Dan kenapa ketika kamu susah dan mahukan bantuan...kamu terus ingat kepada Aku; kamu datang dekat dan merayu kepada Aku?” Aku tidak mampu berkata-kata. Yang kusedari...titisan panas turun membasahi pipiku.

Dia sambung lagi, “Mengapa kamu buat begini...kadang-kadang sujud menyembahKu, dan kemudian membelakangiKu; tidak pedulikanKu? Mengapa kamu hanya datang mencariKu hanya ketika kamu nengingatiKu? Mengapa kamu meminta kepadaKu sedang kamu tidak setia kepadaKu?” Kurasakan titisan panas mengalir derasmembasahi pipiku tanpa henti. “Mengapa kamu malu kepadaKu? Mengapa kamu tidak mahu menyebarkan suruhanKu? Mengapa ketika kamu dizalimi kamu adukan kepada yang lain sedang Aku sedia mendengar segala rintihanmu? Mengapa kamu sering membuat alasan ketika Aku memberimt peluang untuk berkhidmat di jalanKu?” Ku gagahi bibirku untuk mengucapkan patah-patah perkataan bagi menjawab segala soalan yang bertubi-tubi diajukan kepadaku. Tetapi aku tidak punyai jawapan bagi persoalan-persoalan tadi. Lidahku yang selama ini lancar berkata-kata, kini kelu. Otakku ligat mencari jawapan... atau alasan... namun tiada apa yang kutemui sebagai jawapan.

Dia berkata-kata lagi... “Kamu diberikan sebuah kehidupan. Aku jadikan dalam dirimu keistimewaan dan kelebihan berbanding orang lain untuk kamu berjuang di jalanKu, tetapi kamu tetap berpaling dari jalanKu. Aku tunjukkan kepadamu kata-kataKu sebagai panduan kamu dalam hidup ini, tetapi kamu tidak mahu mempelajari atau menghayatinya. Acap kali Aku berkata-kata kepadamu, tetapi kamu berpaling daripada melihatnya. Aku turunkan kepada kamu pesuruhKu, tetapi kamu tidak ambil peduli ketika sunnahnya ditinggalkan. Aku dengar segala permintaan dan rayuanmu kepadaKu... dan semuanya telah Aku perkenankan dengan pelbagai cara.” SambungNya lagi, “Kini... adakah kamu menyintaiKu?” Aku tidak mampu menjawabnya lagi.

Bagaimana harus aku jawab persoalan ini/. Dalam tak sedar, aku malu dengan segala apa yang telah aku lakukan selama ini. Aku tidak lagi punya alasan bagi menyelamatkan diriku. Apa yang boleh aku jawab bagi persoalan itu? Ketika hatiku berteriak menangis, dan bercucuran airmata mengalir turun di kedua-dua belah pipiku, aku merintih, “Oh Tuhanku... ampunkanlah segala dosaku. Aku tidak layak menjadi hambaMu Ya Allah...” kemudian Dia menjawab, “Sifatku pengampun...barangsiapa yang memohon keampunan dariKu, nescaya Aku ampunkannya. Dan Aku ampunkan kamu wahai hambaKu.” Aku bertanya kepadaNya, “Mengapa Engkau tetap mengampunkanku sungguhpun aku melakukan kesalahan berulangkali dan memohon ampun berulangkali? Sampai begitu sekalikah cintaMu terhadapku?” Dia menjawab “Kerana kamu adalah ciptaanKu. Aku sekali-kali tidak akan mengabaikanmu. Apabila kamu menangis aku akan bersimpati kepadamu dan mendengar segala rintihanmu. Apabila kamu melonjak kegirangan Aku akan turut gembira dengan kegembiraanmu. Apabila kamu berasa gundah dan kesepian, Aku akan memberikanmu semangat. Apabila kamu jatuh Aku akan membangkitkanmu. Apabila kamu keletihan Aku akan membantumu. Aku akan tetap bersama-samamu hinggalah ke hari yang akhir dan Aku akan menyayangimu selama-lamanya.”

Seingat aku... aku tidak pernah menangis sebegini. Aku sendiri tidak mengerti kenapa hatiku ini begitu keras; tidak mampu menangis menyesali segala dosaku selama ini. Dan..buat kali pertamanya dalam hidupku ini... aku benar-benar solat dalam ertikata yang sebenar. Wa’allahualam... 

KERANA UKHUWAH ITU INDAH oleh Fatin Nur Kamalia pada 23 November 2010 jam 23:58

Menyedari dirinya sudah terlambat untuk ke kelas Physiology, Qistina berlari-lari anak tanpa menghiraukan pelajar-pelajar lain yang sedang memerhatikan kegopohannya itu. “Tak kisahlah apa orang nak kata yang penting aku cepat sampai ke kelas Profesor Azlan. Kalau lambat setakat lima minit takpe lagi sekurang-kurangnya aku tak dihalau keluar kelas kerana lambat.” Qistina memujuk hati. “Hai Qistina. Awal kamu masuk kelas saya hari ini ye?.” Seperti yang dijangka Qistina, Profesor Azlan pasti menegurnya. “Sorry Prof.” Qistina melontarkan senyuman kelat sambil mencari-cari tempat kosong.

"Hey Qis! Apasal kau lambat hari ini? Tak pernah-pernah kau lambat. Pelik juga aku.” Gadis tinggi lampai dan berkulit kuning langsat menyapa Qistina yang masih sibuk merapikan nota-nota kuliah tadi. “Eh Irah, sekejap ya. Nanti saya jelaskan. Jumpa kat kafé ya Irah?” Irah sekadar mengangguk tanda paham dan sebentar kemudian berlalu meninggalkan Qistina yang masih lagi sibuk menyusun nota-notanya.

Qistina dan Zahirah merupakan sahabat baik sejak di sekolah menengah lagi. Tidak mereka sangkakan jodoh mereka berpanjangan sehingga dipertemukan sekali lagi untuk berjuang bersama mengejar cita-cita yang sama juga di tempat yang sama. Keakraban mereka kadang kala dilihat oleh teman-teman sekuliah sebagai sesuatu yang pelik.

“Bagaimana awak boleh berkawan dengan Irah tu Qis? Dia kasar dan kata-katanya juga kadang-kadang boleh buat orang terasa. Tak macam awak. Bagai langit dengan bumi!”

Qistina hanya tersenyum apabila ada antara teman-temannya yang menanyakan soalan seperti itu. Baginya, orang lain tidak perlu mengetahui apa yang dia rasa dan lalui tapi cukuplah Allah sahaja yang mengetahui betapa ikhlasnya dia meneruskan sebuah ikatan persahabatan tersebut. Siapapun Irah dan bagaimana sekalipun pandangan orang lain terhadap sahabat baiknya itu, dia tetap akan berdiri teguh untuk mempertahankan erti sebuah persahabatan yang telah lama dibina. Qistina amat menyayangi Irah yang sudah dianggap seperti adiknya sendiri.

“Assalamualaikum Irah”. Sapa Qistina pada Zahirah yang sedang asyik sekali meneguk ‘orange juice’ yang pastinya melegakan di saat cuaca panas terik seperti itu.

“Er waalaikumsalam. Ha sampai pun! Cepat bagitau apsal kau lambat tadi.” Irah menampakkan sikap kegopohannya. “Sabarlah awak, kalau ye pun bagilah saya ‘order’ dulu. ‘Jealous’ saya tengok awak asyik sekali meneguk ‘orange juice’ tu sampai saya datang pun awak tak perasan”. Seloroh Qistina dan kemudian dia berlalu untuk memesan air di gerai yang berdekatan. Irah terus meneguk ‘orange juice’ sambil dahinya berkerut menampakkan seribu tanda tanya pada riak wajahnya. Walaupun Zahirah sangat bersahaja dan sering didakwa sebagai seorang yang tidak mempunyai perasaan oleh teman-temannya namun jika sesuatu perkara yang melibatkan Qistina, dia pasti akan ke hadapan.

“Ha, air dah dapat, duduk pun dah sedap bukan main, sekarang baik kau cerita kalau tak aku takkan tegur kau untuk dua hari”. Ugut Irah. Mungkin sudah tidak sabar benar dia menantikan penjelasan daripada Qistina. “Er kenapa dua hari? Kenapa tak seminggu je?Sebulan ke?” Qistina ketawa kecil.

“Dua hari cukuplah. Nanti saya berdosa pula kerana memutuskan silaturrahim selama lebih tiga hari. Dah kau jangan nak buat lawak. Cerita cepat!” Bentak Irah. Qistina sebenarnya amat mengagumi Irah. Walaupun agak kasar namun Irah sangat rajin mempelajari ilmu agama dan setiap malam Jumaat Irah sering mengikuti Qistina pergi ke masjid berdekatan untuk menghadiri kuliah agama. Jadi tak hairanlah Irah banyak mengetahui pesanan-pesanan Nabi junjungan, Muhammad s.a.w.


“Irah, saya nak balik”. Qistina tiba-tiba bersuara. “Apa? Kau nak balik? Mana ada cuti. Cuti akhir semester lambat lagi. Kau kenapa Qis?Tiba-tiba je nak balik. Soalan aku apsal kau lambat tadi dah la kau tak jawab lagi”. Irah berleter panjang. “Irah, pagi tadi mak saya telefon. Katanya..” Qistina semakin tidak betah menahan hiba. Dia tertunduk kaku. Suasana tiba-tiba menjadi suram. Kafeteria semakin lengang dengan pelajar dan hanya tinggal mereka berdua.“Kenapa Qis? Apa yang mak kau kata? Irah yang kasar orangnya tiba-tiba menjadi lemah lembut dan mesra. Sambil mengangkat kepalanya, Qistina berkata “ Irah, ayah saya dah ‘pergi’ ”.

Tersentak Irah mendengar berita tersebut. Dia merapati Qistina dan memeluk erat sahabat baiknya itu.“Innalillah. Sabar ye Qis. Allah s.w.t lebih menyayangi ayah Qis.” Hanya itu yang mampu diucapkannya. Irah sudah sedia maklum akan keadaan kesihatan ayah Qistina yang lumpuh seluruh badan akibat serangan ‘stroke’ setahun yang lalu dan keadaan ayah Qistina semakin tenat sejak minggu lalu. Sejak ayah Qistina sakit, emaknyalah yang betungkus-lumus menguruskan keluarga. Mujurlah Qistina mendapat bantuan biasiswa. Setidak-tidaknya, dapat juga dia meringankan beban emaknya itu. Qistina juga sering mengikat perut dan berbelanja seminimal mungkin bagi menyimpan wang untuk dihantar kepada ibunya. Walaupun Irah dan Qistina bukan rakan sebilik, namun Irah sering berhubung dengan rakan sebilik Qistina mengenai keadaannya termasuklah makan minum Qistina. 

Irah terus memeluk erat tubuh longlai Qistina sambil menyeka air mata Qistina yang semakin galak menghujani pipi teman baiknya itu.”Kenapa ujian Allah buat saya begitu berat, Irah? Saya tak sanggup lagi menahannya Irah. Saya lemah. Kenapa harus saya yang menerima ini semua Irah?Allah tak sayangkan saya ke Irah? Apa dosa saya sehingga begini berat sekali ujian yang harus saya terima? Irah, saya rindu ayah saya.” Tangisan Qistina semakin tidak terbendung. 

“Qis, kau kena kuat. Tak boleh lemah macam ini. Kau ingat tak pesan Ustaz Rizal semasa kuliah agama minggu lepas? Walau apapun dugaan yang Allah turunkan buat kita, semua itu adalah untuk menguji sejauh mana kesabaran dan keikhlasan kita dalam menerima ketentuanNya. Ini takdir yang harus kau terima. Kita hamba-Nya sentiasa layak diuji. Kau, aku dan semua manusia tidak terlepas daripada ujian, hanya yang membezakan kita adalah bentuk ujian itu sendiri. Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang. Semua yang berlaku pasti ada hikmahnya. Mungkin Allah s.w.t tidak mahu ayah kau berperang dengan dirinya lagi dengan terus dihimpit rasa bersalah melihat kepayahan emak kau membesarkan kau adik-beradik sedangkan arwah tidak mampu menolong apa-apa. Ingat Qis, setiap yang hidup pasti akan kembali kepadaNya hanya masa yang menentukannya. Masa kita juga pasti akan tiba. Redha ye Qis. Berdoalah untuk ayah kau, Qis semoga rohnya ditempatkan di kalangan para solihin dan semoga kau akan bertemunya lagi di akhirat nanti.” Nasihat Irah apabila melihat Qistina sudah tidak mampu berkata-kata hanya linangan air mata menjadi saksi kesedihannya mengiringi pemergian ayah tercinta. 

Dua pekan sudah berlalu. Irah semakin gelisah seperti cacing kepanasan apabila kelibat Qistina tidak muncul-muncul juga. Setiap pagi dia pasti akan menunggu Qistina di lobi bangunan universiti kalau-kalau kelibat Qistina kelihatan di situ tapi hampa. “Mana budak ni. Dia tak nak ambil ‘exam’ ke? Lagi seminggu je tinggal ni. Kuliah dah la banyak tinggal”. Irah mengomel sendirian. Petang itu dia yang menghantar Qistina ke KL Sentral dan Terminal LCC. Mujur ‘flight’ ke Kelantan masih ada. 

Sejak itu Irah tidak mendengar lagi khabar berita daripada Qistina. Irah cuba menghubungi Qistina namun telefon bimbitnya dimatikan. “Dila, Qis ada ‘contact’ kau?” Sapa Irah apabila melihat kelibat Adilah, teman sebilik Qistina semasa berlegar-legar di lobi tersebut. “Sejak pagi itu, saya langsung tidak terima sebarang berita daripada Qis”. Balas Adilah. Sebenarnya, berita mengenai kematian ayah Qistina hanya diketahui Irah sahaja. Walaupun Adilah merupakan teman sebiliknya namun dia mendapat berita tersebut setelah dua hari keberangkatan Qistina ke kampung halamannya dan itupun melalui Irah bukan dari mulut Qistina sendiri. 

“Semasa Qistina sedang bersiap-siap untuk ke kuliah, tiba-tiba dia mendapat panggilan telefon daripada emaknya. Yang saya pelik lepas je mereka menamatkan perbualan, Qistina terduduk kaku di atas katil. Apabila ditanya dia kata tiada apa-apa. Dia mengelamun panjang sampai saya menyapanya kerana telah terlambat untuk ke kuliah,” Terang Adilah kepada Irah semasa diberitahu khabar mengenai pemergian ayah rakan sebilknya itu. “Ya Allah, tabahnya kau Qistina. Tak sangka aku dalam menerima khabar hiba itu kau masih boleh pergi ke kuliah, tersenyum dan berseloroh denganku sehingga aku sendiri tidak dapat membaca penderitaan yang kau tanggung. Maafkan aku Qis. Aku bukan sahabat yang terbaik buat kau. Maafkan aku” Irah bermonolog. 

“Ah tak boleh jadi ni, aku tak boleh diamkan diri sebegini. Apa tanggungjawab aku sebagai seorang sahabat? Takkan sekadar berdiam diri sedangkan sahabat baik yang selama ini banyak membimbingku sedang bermuram durjana. Aku mesti lakukan sesuatu. Sekurang-kurangnya aku tidak merasa bersalah pada diriku kerana membiarkan sahabatku sendirian menghadapi kesusahan. Aku mesti mencari tahu kenapa dia sudah lama tidak pergi ke kuliah.” Irah terus bermonolog dengan dirinya. 

Setelah ‘check in’, Irah duduk di suatu sudut tempat menunggu sementara menanti untuk berlepas. Pandangan Irah tertarik pada sepasang suami isteri ‘orang putih’ yang sedang bergurau senda dengan puteri mereka yang dalam perkiraan Irah berusia lima tahun. Terdetik rasa cemburu dalam dirinya apabila melihat telatah manja anak kecil itu sambil bergelak ketawa bersama ibu bapanya. “Apakah khabar mama saat ini? Dah lama aku tak menghubungi mama. Ya Allah, semoga mamaku sentiasa dalam perlindunganMu”. Doa Irah dalam-dalam.Tanpa disedari menitis air hangat di pipinya. 

Lamunannya terhenti lantaran terdengar pengumuman petugas yang mengarahkan para penumpang supaya beratur untuk menaiki pesawat. Irah segera menyeka air matanya sambil bergegas mengambil tempat di puluhan manusia yang sedang beratur menunggu giliran. Tidak seperti Qistina, Irah dibesarkan dalam keluarga yang agak mewah. Papanya memiliki sebuah perusahaan perkapalan yang berdiri teguh sehingga hari ini. Tapi sayang, kekayaan dan pangkat tidak menjamin kebahagiaan malah bisa menggelapkan mata dan hati yang mudah goyah dengan hasutan syaitan. Papa Irah sering tidak pulang ke rumah dan meninggalkan mamanya yang sedang berperang dengan penyakit kanser  peringkat akhir sendirian di rumah. 

“Gila! Berkasih-kasihan dengan perempuan yang hampir seusia dengan anak sendiri. Ah persetan semuanya! Biarlah papa dengan dunianya yang penting aku ada mama! Aku harus tabah untuk mama! Mama perlukan aku!” Bentak hatinya ketika melihat papanya berpegangan tangan bersama seorang perempuan muda yang berusia dalam lingkungan dua puluh lima tahun ketika dia sedang melewati sebuah pusat membeli belah. Ikutkan hati mahu sahaja dia menyerang perempuan tersebut tapi dia tahu itu hanya kerja yang sia-sia malah akan membuatkan dirinya malu. Namun, luluh benar hatinya itu apabila melihat papa yang diharapkan menerajui bahtera rumahtangga di samping memberi semangat buat mama yang sedang berperang dengan maut, berpeleseran dengan anak muda seusia dengan anak gadisnya. 


Qistinalah yang selama ini banyak mendorong Irah untuk terus kuat menghadapi ujian hidup yang pastinya tidak akan sepi mendampingi hambaNya. “Terima kasih Ya Allah kerana mengurniakanku teman sebaik Qistina di saat aku memerlukan tempat untuk mengadu”. Irah melakarkan rasa syukurnya. 

“Assalamualaikum”. Irah memberi salam. 

Sejurus kemudian, kedengaran orang menyambutnya dari dalam dan dengan perlahan-lahan daun pintu dibuka. 

“Wa’alaikumsalam. Oo Irah rupanya. Jemput masuk Irah”. 

Wanita dalam lingkungan empat puluhan itu mempelawa Irah masuk sambil menyalami tangan anak gadis itu. “Mak cik sihat? Salam takziah ye mak cik. Irah minta maaf kerana tidak dapat menghadiri pengebumian pak cik tempoh hari”. Irah meluahkan kekesalannya. “Alhamdulillah mak cik sihat. Terima kasih Irah. Takpe makcik faham Irah sibuk. Bakal doktorlah katakan. Irah duduk dulu ye nanti mak cik panggilkan Qistina”. Pelawa mak cik Esah kemudian berlalu ke mana pun Irah tidak tahu. 

Dia terus mengamati setiap sudut rumah itu. Sungguh sederhana malah baginya sungguh daif sekali. Kelihatan cahaya menembusi lubang-lubang kecil pada atap zink pondok usang tersebut. “Assalamualaikum Irah. Err..awak..” Sapa Qistina yang agak terkejut dengan kedatangan Irah. Lamunan Irah mati seketika. Dia lalu bangkit dan tanpa berlengah lagi dia terus memeluk erat tubuh Qistina. “Wa’alaikumsalam Qis. Kau sihat?” Irah semakin tidak tegar menahan tangis. Rindu benar dia dengan gadis kacukan Cina itu. “Alhamdulillah. Saya sihat. Awak? “. Sahut Qistina. “Alhamdulillah sihat juga. Tapi kenapa kau dah lama tak ke kuliah? Banyak yang kau dah tertinggal. Minggu depan dah nak ‘exam’. Semua orang risaukan kau, Qis.Banyak kali aku cuba hubungi kau tapi ‘handphone’ kau sentiasa ‘off’. Kenapa Qis?Kau ada masalah ke?”. Bertubi-tubi pertanyaan yang dilontarkan. 

“Maafkan saya Irah kerana menyusahkan awak sehingga sampai ke sini awak mencari saya. Maafkan saya”. Qistina tertunduk. Kelihatan manik-manik kaca gugur membasahi lantai kayu kediaman tersebut. “Qis, kenapa?” Irah menggenggam erat jari-jemari Qistina. “Irah maafkan saya. Saya tidak mampu lagi untuk meneruskan pengajian. Saya orang susah Irah. Saya nak berhenti.” Irah tersentak. Mukanya tiba-tiba menjadi merah dan bengis sekali sambil air mata tetap tidak henti-henti mengalir meraikan suasana suram petang itu. “Apa Qis? Kau nak berhenti? Kau ulang sekali lagi! Aku tak dengar!” Irah tiba-tiba menjadi marah.

“Maafkan saya Irah. Saya nak tolong mak saya. Biarlah adik-adik saya yang meneruskan cita-cita saya. Saya tak sanggup melihat mereka berhenti sekolah gara-gara kesempitan hidup yang kami alami. Mereka masih kecil dan tidak seharusnya menanggung penderitaan ini. Jadi biarlah saya yang berkorban. “Qis!Apa yang kau cakapkan ni? Kau sedar ke tak apa yang kau cakapkan ni?Kau tahukan kita tinggal setahun setengah je lagi untuk ‘graduate’? Kau tahukan bukan mudah untuk sampai ke tahap ni tapi senang-senang je kau nak mengalah sekarang! Kau kata nak tolong emak dan adik-adik kau tapi apa yang kau mampu buat? Kelulusan apa yang kau ada? Setakat jual kuih? Kerja kilang? Berapa sangat yang kau dapat untuk membantu adik-adik kau? Cukupkah Qis? Berbanding jika kau bertahan untuk setahun setengah je lagi."

Sambil memegang wajah Qistina, Irah menunjukkan ruang-ruang di rumah tersebut. “Kau tengok ni!Kau tengok atap ni .Mampukah kau mengubahnya menjadi atap genting? Mampukah kau mengubah papan-papan ini menjadi batu? Mampukah kau mengubah kehidupan kau sekarang dengan mengalah sebegini?.Aku tahu Qis, wang bukanlah tujuan utama ‘profession’ ini tetapi sifat kemanusiaan itu sendiri. Kalau kau masih ingat dulu kita sama-sama pernah membina impian ingin berkhidmat untuk agama dan bangsa terutama mereka yang susah. Apa kau sudah lupa?Kalau kau undur diri apalah nasib rakyat kita yang mengharapkan pertolongan kau suatu hari nanti Qis? Lupakah kau kerjaya ini yang kau idam-idamkan sejak kecil? Tidak semua orang berpeluang tapi bila kau dah sampai tahap ni senang je kau nak tinggalkan. Kau pentingkan diri sendiri Qis! Sampainya hati kau nak tanamkan jauh ke bumi harapan emak dan ayah kau!”Irah semakin hilang sabar. 

“Qis, aku dah malas nak cakap dengan kau lagi. Aku tak pernah ada sahabat yang cepat benar putus asa! Qistina yang aku kenal dulu sungguh tabah dan tidak pernah mengalah berperang dengan nasib hidup! Kalau profesor dan kawan-kawan tahu pasti mereka gelakkan kau, Qistina! Kau dah lupa kata-kata semangat yang pernah kau ungkapkan sebagai perangsang untuk aku terus bertahan melawan takdir hidup aku? Inikah Qistina yang amat aku kagumi dulu?” Irah terus lontarkan kekesalannya. “Irah, awak tak paham.” Qistina cuba membela diri. 

"Dah la Qis, aku tak nak dengar apa-apa lagi. Aku balik dulu. Ambillah nota-nota ni. Kalau kau rasa ianya berguna untuk kau, kau tahu apa perlu kau buat. Aku tak kisah bersusah-payah demi sahabat tapi kalau kau sendiri putus asa dengan nasib kau apa aku boleh buat. Kalau kau rasa masa depan kau, emak dan adik-adik kau masih ingin kau bela, kau bacalah dan aku tunggu kau di dewan peperiksaan minggu depan. Sungguh aku menyesal kerana terlalu mengharap pada orang yang tidak ada matlamat hidup ni. Kau buatlah apa yang kau rasa terbaik!Semoga kau berjaya, Qis. Assalamualaikum”. Irah berlalu tanpa sempat membenarkan sepatah kata daripada Qistina untuk membela diri. 

Air mata semakin galak menghujani pipi gebu Qistina. Pilu benar hatinya mengenangkan pengorbanan yang Irah hulurkan tapi berakhir dengan kekecewaan. “Maafkan saya Irah. Saya tak mampu. Maafkan saya”. Qistina menyesali diri sendiri. Sebentar lagi peperiksaan akhir semester tujuh akan bermula. Selepas ini mereka akan bersiap-siap pula untuk menjalani praktikum di hospital yang terpilih. Wajah setiap mahasiswa menampakkan kegelisahan. Ada yang lebam-lebam matanya akibat kurang tidur dan ada juga yang pucat lesu bagai mayat. Maklumlah inilah penentunya setelah bersusah payah selama hampir tiga tahun setengah untuk sampai ke tahap ini. Sesuatu yang pastinya bukan mudah.Segala pengorbanan dan kesungguhan tidak akan disia-siakan demi menggapai impian menjadi tunggak harapan bangsa dan agama. Semua pelajar mendapatkan tempat duduk masing-masing sesuai dengan angka giliran. Irah kelihatan sungguh gelisah dan acap kali juga dia melemparkan pandangan mencari-cari kelibat tubuh Qistina namun hampa. “Aku kecewa Qistina”. Irah tertunduk. 

“Baiklah semua pelajar, peperiksaan akan dimulakan lima minit lagi. Sila semak angka giliran dan maklumat yang tertera pada kertas jawapan. Pastikan semuanya betul.” Pesan Prof. Madina kepada pelajar-pelajarnya. 

“Prof! Maafkan saya kerana terlambat”. Pinta seorang mahasiswi yang agak kelam kabut dan sesekali dia menarik-narik nafas yang seakan sukar untuk dilepaskan.

Irah mengangkat kepalanya seolah-olah dia kenal benar akan suara tersebut.“Qistina! Alhamdulillah”. Irah menarik nafas lega. Dari jauh, Qistina melemparkan pandangan pada Irah dan mereka berbalas senyuman. “Terima kasih Irah. Kaulah sahabat saya di dunia dan mudah-mudahan di akhirat juga”. Kata Qistina pada Irah semasa keluar dari dewan peperiksaan. “InsyaAllah. Mudah-mudahan ukhwah ini sentiasa dalam perlindungan-Nya dan semoga kita sama-sama dapat menjadi seorang doktor yang beriman dan berbakti kepada masyarakat dan agama. InsyaAllah. Kita boleh!” Kata Irah penuh semangat. “Ya kita pasti boleh! Semangat!!” Sahut Qistina.

*edit from iluv islam

sebuah karya oleh Sastra Sang Pengembara pada 19 Oktober 2010 jam 22:02

kenapa kita menutup mata ketika kita tidur? ketika kita menangis? ketika kita membayangkan? itu karena hal terindah di dunia tdk terlihat
ketika kita menemukan seseorang yang keunikannya sejalan dengan kita, kita bergabung dengannya dan jatuh ke dalam suatu keanehan serupa yang dinamakan cinta.
Ada hal2 yang tidak ingin kita lepaskan, seseorang yang tidak ingin kita tinggalkan, tapi melepaskan bukan akhir dari dunia, melainkan suatu awal kehidupan baru, kebahagiaan ada untuk mereka yang tersakiti, mereka yang telah dan tengah mencari dan mereka yang telah mencoba. karena merekalah yang bisa menghargai betapa pentingnya orang yang telah menyentuh kehidupan mereka.
Cinta yang sebenarnya adalah ketika kamu menitikan air mata dan masih peduli terhadapnya, adalah ketika dia tidak memperdulikanmu dan kamu masih menunggunya dengan setia.
Adalah ketika di mulai mencintai orang lain dan kamu masih bisa tersenyum dan berkata ” aku turut berbahagia untukmu ”
Apabila cinta tidak bertemu bebaskan dirimu, biarkan hatimu kembalike alam bebas lagi. kau mungkin menyadari, bahwa kamu menemukan cinta dan kehilangannya, tapi ketika cinta itu mati kamu tidak perlu mati bersama cinta itu.
Orang yang bahagia bukanlah mereka yang selalu mendapatkan keinginannya, melainkan mereka yang tetap bangkit ketika mereka jatuh, entah bagaimana dalam perjalanan kehidupan. kamu belajar lebih banyak tentang dirimu sendiri dan menyadari bahwa penyesalan tidak seharusnya ada, cintamu akan tetap di hatinya sebagai penghargaan abadi atas pilihan2 hidup yang telah kau buat.
Teman sejati, mengerti ketika kamu berkata ” aku lupa ….” menunggu selamanya ketika kamu berkata ” tunggu sebentar ” tetap tinggal ketika kamu berkata ” tinggalkan aku sendiri ” mebuka pintu meski kamu belum mengetuk dan belum berkata ” bolehkah saya masuk ? ” mencintai juga bukanlah bagaimana kamu melupakan dia bila ia berbuat kesalahan, melainkan bagaimana kamu memaafkan.
Bukanlah bagaimana kamu mendengarkan, melainkan bagaimana kamu mengerti. bukanlah apa yang kamu lihat, melainkan apa yang kamu rasa, bukanlah bagaimana kamu melepaskan melainkan bagaimana kamu bertahan.
Mungkin akan tiba saatnya di mana kamu harus berhenti mencintai seseorang, bukan karena orang itu berhenti mencintai kita melainkan karena kita menyadari bahwa orang iu akan lebih berbahagia apabila kita melepaskannya.
kadangkala, orang yang paling mencintaimu adalah orang yang tak pernah menyatakan cinta kepadamu, karena takut kau berpaling dan memberi jarak, dan bila suatu saat pergi, kau akan menyadari bahwa dia adalah cinta yang tak kau sadari

untukmu yang ku rindu

bismiLLah....



Atas nama Allah yang Maha Mengetahui...
Atas nama Allah yang Maha Mengetahui...


Mataku berkaca, menangis saat tahu kau akan pergi meninggalkanku. Dan aku mencoba untuk menahannya karena aku tak mau kau melihatnnya. Saat kau meninggalkanku aku pun memejamkan mata, maka sebutir demi sebutir air mataku mengalir membasahi kedua pipi. Dengan penuh harap aku terus bertanya ‘apa ini sudah keputusan bulatmu untuk pergi??’

Setiap orang memiliki pilihan dan ini pilihanmu.. Akan ku simpan airmata ini untuk ku alirkan di sepertiganya malam saat berkhalwat dengan-Nya.

Kau takut niat tulusmu akan berubah saat mendengar kata-kata kekaguman dari diriku padamu. Untuk semangatmu, keberanianmu serta bakatmu. Dan satu hal lagi.. Kau melihat satu hal yang berbeda saat aku menatapmu. Berbeda dengan ukhtie yang lain saat menatapmu'
(Ya… Rayuan syetan amatlah lembut. Bahkan lebih lembut dari sutra yang pernah ku genggam)

Aku selalu memujimu, akan apa yang aku kagumi dari dirimu, namun apakah kau takut dari pujianku bisa menimbulkan kesombongan pada dirimu? Keyakinanmu semakin menguat saat membaca sms-sms dariku. Dari situ kau yakin bahwa aku menyimpan rasa untukmu..Kau takut aku mencintaimu hanya karena lebihmu dan aku akan kecewa saat tahu akan kurangmu.

Ketahuilah aku cinta padamu berdasarkan Illahi bukan karna nurani...

“apakah salah jika ada seorang wanita menyukai seorang lelaki”
itu hal yang manusiawi, yang hanya akan menjadi salah bila ketika rasa itu salah di letakkan.

Kau takut ketika shalat yang aku bayangkan adalah wajahmu. Ketika melakukan sesuatu yang aku harapkan adalah pujian darimu. Bahkan sebelum tidur pun yang aku bayangkan adalah wajahmu. Maka… pahamilah, saat ini kau hanya lah penguat sisi hati ku yang lain.

Ketahuilah bahwa dia yang aku inginkan untuk menemaniku di penghujung mudaku yaitu yang mencintaiku tak melebihi cintanya pada Allah, mengikhlaskanku berjihad di jalan Allah. Bermesra denganku tak melebihi mesranya Ia ketika di sepertiganya malam bersama Allah. Yang kokoh imannya, teguh pendiriannya dan mampu menjadi imam untukku dan anak-anakku kelak agar tumbuh menjadi anak-anak yang taat pada Allah dan berbakti pada kedua orangtuanya.

Jika memang Allah takdirkan kamu untukku maka sejauh mana kapal itu berlabuh pasti akan datang jua. Namun jika tidak, maka akan ku yakini bahwa janji Allah lebih baik dari yang aku duga.

Kan selalu ku jaga diri ini agar menjadi wanita sholeha yang baik karna Allah hanya menyiapkan lelaki yang baik untuk wanita yang baik. Yang berhak melihat seutuhnya diriku tanpa adanya hijab lagi.

“Aku merindukan menjadi bidadari untukmu di Syurga kelak”

Cobaan yang meresahkanku ini adalah teguran dari sang Khalik untukku dan aku tak meminta untuk di kurangi cobaan itu tp agar kau diberi punggung yang kokoh agar kau mampu menopangnya. Engkau sangat baik padaku namun aku tak dapat mencintaimu melebihi cintaku pada saudara-saudaraku yang lain karena belum saatnya untuk kulebihkan porsi cintaku padamu. Yang ada di hatiku sekarang dan kulebihkan cintaku adalah Allah dan Rosulnya kemudian Kedua Orangtuaku, kakak-kakak perempuanku yang sangat aku sayangi dan kakak laki-lakiku...

Tetaplah tersenyum dan menjadi bintang dan bulan yang kokoh di langit yang menerangi malam-malam ku. Teruskan perjalanan ini meski badai terus menerpa…

Dari Orang yang merindukan bertemu denganmu di Syurga..


copast dari sebuha grup islami (Artikel, Renungan, Kisah Motifasi II)

Selasa, 23 November 2010

Bila Cinta Menyapa oleh Dian Aja pada 02 November 2010 jam 21:54

Bila Cinta Menyapa
Kategori Aqidah

Cinta bikin orang gila’, begitu kata sebagian orang. Barangkali ada benarnya. Buktinya, banyak kita saksikan para pemuda atau pemudi yang rela melanggar aturan-aturan agama demi mencari keridhaan pacarnya.

Alasan mereka, ‘cinta itu membutuhkan pengorbanan’. Kalau berkorban harta atau bahkan nyawa untuk membela agama Allah, tentu tidak kita ingkari. Namun, bagaimana jika yang dikorbankan adalah syariat Islam dan yang dicari bukan keridhaan Ar-Rahman? Semoga tulisan yang ringkas ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita bersama, agar cinta yang mengalir di peredaran darah kita tidak berubah menjadi bencana.
Allah ta’ala berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ
جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
Di antara manusia ada yang mencintai sekutu-sekutu selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah, adapun orang-orang yang beiman lebih dalam cintanya kepada Allah. Seandainya orang-orang yang zhalim itu menyaksikan tatkala mereka melihat adzab (pada hari kiamat) bahwa sesungguhnya seluruh kekuatan adalah milik Allah dan bahwa Allah sangat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al-Baqarah : 165)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “Allah menceritakan bahwa mereka (orang musyrik) mencintai pujaan-pujaan mereka/sesembahan tandingan itu sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Maka hal itu menunjukkan bahwa mereka juga mencintai Allah dengan kecintaan yang sangat besar.

Akan tetapi hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam. Lalu bagaimana jadinya orang yang mencintai pujaan (selain Allah) dengan rasa cinta yang lebih besar daripada kecintaan kepada Allah? Lalu apa jadinya orang yang hanya mencintai pujaan tandingan itu dan sama sekali tidak mencintai Allah?” (sebagaimana dinukil dalam Hasyiyah Kitab Tauhid, hal. 7. islamspirit.com).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan : “Allah ta’ala menyebutkan tentang kondisi orang-orang musyrik ketika hidup di dunia dan ketika berada di akhirat. Mereka itu telah mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah yaitu [sesembahan-sesembahan] tandingan. Mereka menyembahnya disamping menyembah Allah. Dan mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Dia itu adalah Allah yang tidak ada sesembahan yang hak kecuali Dia, tidak ada yang sanggup menentang-Nya, tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan tiada sekutu bersama-Nya.

Di dalam Ash-Shahihain [Sahih Bukhari dan Muslim] dari Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu’anhu-, dia berkata : Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, dosa apakah yang terbesar.” Beliau menjawab : “Yaitu engkau mengangkat selain Allah sebagai sekutu bagi-Nya padahal Dialah yang menciptakanmu.” Sedangkan firman Allah, “adapun orang-orang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” Hal itu dikarenakan kecintaan mereka (orang yang beriman) ikhlas untuk Allah dan karena kesempurnaan mereka dalam mengenali-Nya, penghormatan dan tauhid mereka kepada-Nya. Mereka tidak mempersekutukan apapun dengan-Nya. Akan tetapi mereka hanya menyembah-Nya semata, bertawakal kepada-Nya dan mengembalikan segala urusan kepada-Nya…” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, I/262)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan : “Allah ta’ala mengabarkan bahwasanya barangsiapa yang mencintai sesuatu selain Allah sebagaimana mencintai Allah ta’ala maka dia termasuk kategori orang yang telah menjadikan selain Allah sebagai sekutu. Syirik ini terjadi dalam hal kecintaan bukan dalam hal penciptaan dan rububiyah… Karena sesungguhnya mayoritas penduduk bumi ini telah mengangkat selain Allah sebagai sekutu dalam perkara cinta dan pengagungan.” (dinukil dari Fathul Majid, hal. 320).

Syaikh Hamad bin ‘Atiq rahimahullah menjelaskan, “Orang-orang musyrik itu menyetarakan sesembahan mereka dengan Allah dalam hal kecintaan dan pengagungan. Inilah pemaknaan ayat tersebut sebagaimana dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah…” (Ibthaalu Tandiid, hal. 180).

Syaikhul Islam mengatakan : “Penyetaraan semacam itulah yang disebutkan di dalam firman Allah ta’ala tatkala menceritakan penyesalan mereka di akhirat ketika berada di neraka. Mereka berkata kepada sesembahan-sesembahan dan sekutu-sekutu mereka dalam keadaan mereka sama-sama mendapatkan adzab (yang artinya) :

“Demi Allah, dahulu kami di dunia berada dalam kesesatan yang nyata, karena kami mempersamakan kamu dengan Rabb semesta alam.” (QS. Asy-Syu’araa’ : 97-98).

Telah dimaklumi bersama, bahwasanya mereka bukan mensejajarkan sesembahan mereka dengan Rabbul ‘alamin dalam hal penciptaan dan rububiyah. Namun mereka hanya mensejejajarkan pujaan-pujaan itu dengan Allah dalam hal cinta dan pengagungan…” (dinukil dari Fathul Majid, hal. 320-321)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan : “Kecintaan orang-orang yang beriman lebih dalam dikarenakan kecintaan tersebut adalah kecintaan yang murni yang tidak terdapat noda syirik di dalamnya. Sehingga kecintaan orang-orang yang beriman menjadi lebih dalam daripada kecintaan mereka (orang-orang kafir) kepada Allah.” (Al-Qaul Al-Mufid, II/4-5).

Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa makna ‘orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah’ yaitu apabila dibandingkan dengan kecintaan para pengangkat tandingan itu terhadap sekutu-sekutu mereka. Karena orang-orang yang beriman itu memurnikan cinta untuk Allah, sedangkan mereka mempersekutukan-Nya. Selain itu, mereka juga mencintai sesuatu yang memang layak untuk dicintai, dan kecintaan kepada-Nya merupakan sumber kebaikan, kebahagiaan dan kemenangan hamba.

Adapun orang-orang musyrik itu telah mencintai sesuatu yang pada hakikatnya tidak berhak sama sekali untuk dicintai. Dan mencintai tandingan-tandingan itu justru menjadi sumber kebinasaan dan kehancuran hamba serta tercerai-cerainya urusannya.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 80).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Sumber terjadinya kesyirikan terhadap Allah adalah syirik dalam perkara cinta. Sebagaimana firman Allah ta’ala, “Dan diantara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan, mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Adapun orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah : 165)…”

Beliau menegaskan : “Maksud dari pembicaraan ini adalah bahwasanya hakikat penghambaan tidak akan bisa diraih apabila diiringi dengan kesyirikan kepada Allah dalam urusan cinta. Lain halnya dengan mahabbah lillah. Karena sesungguhnya kecintaan tersebut merupakan salah satu koneskuensi dan tuntutan dari penghambaan kepada Allah. Karena sesungguhnya kecintaan kepada rasul –bahkan harus mendahulukan kecintaan kepadanya daripada kepada diri sendiri, orang tua dan anak-anak- merupakan perkara yang menentukan kesempurnaan iman. Sebab mencintai beliau termasuk bagian dari mencintai Allah. Demikian pula halnya pada kecintaan fillah dan lillah…” (Ad-Daa’ wad-Dawaa’, hal. 212-213)

Buktikan Cintamu!
Dari Anas radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai dia menjadikan aku lebih dicintainya daripada anak, orang tua dan seluruh umat manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata : “Maka keimanan tidak menjadi sempurna sampai Rasul lebih dicintainya daripada seluruh makhluk. Kalau demikian halnya yang seharusnya diterapkan dalam kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bagaimanakah lagi dengan kecintaan kepada Allah ta’ala?!!…” (Al-Qaul Al-Mufid, II/6).
Allah ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي
“Katakanlah : Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku.” (QS. Ali-’Imraan : 31). Syaikhul Islam berkata : “Maka tidaklah seseorang menjadi pecinta Allah hingga dia mau tunduk mengikuti Rasulullah.” (lihat Al-’Ubudiyah)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan : “Pokok dari seluruh amal perbuatan adalah rasa suka (cinta). Karena seorang manusia tidaklah melakukan sesuatu kecuali apa yang disukainya, baik dalam rangka mendapatkan manfaat atau untuk menolak madharat. Maka apabila dia melakukan sesuatu tentulah karena dia menyukainya, mungkin karena dzat sesuatu itu sendiri (sebab internal) seperti halnya makanan atau karena sebab eksternal seperti halnya meminum obat. Ibadah kepada Allah itu dibangun di atas pondasi kecintaan. Bahkan rasa cinta itulah hakikat dari ibadah. Sebab apabila anda beribadah tanpa memiliki rasa cinta maka ibadah yang anda perbuat akan terasa hambar dan tidak ada ruhnya. Karena sesungguhnya apabila di dalam hati seorang insan masih terdapat rasa cinta kepada Allah dan keinginan untuk menikmati surga-Nya maka tentunya dia akan menempuh jalan untuk menggapainya…” (Al-Qaul Al-Mufid, II/3)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa yang pada dirinya terdapat ketiganya niscaya akan merasakan manisnya iman; [1] Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, [2] dia mencintai orang lain tidak lain disebabkan cinta karena Allah, [3] dan dia tidak suka kembali kepada kekafiran sebagaimana dia tidak suka untuk dilemparkan ke dalam kobaran api.” (HR. Bukhari [15,20,5581,6428] dan Muslim [60,61] dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Tali keimanan yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya [92] dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu disahihkan Al-Albani dalam takhrij Kitabul Iman karya Ibnu Taimiyah).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Tanda kebenaran cinta itu ialah apabila seseorang dihadapkan kepadanya dua perkara, salah satunya dicintai Allah dan Rasul-Nya sementara di dalam dirinya tidak ada keinginan (nafsu) untuk itu, sedangkan perkara yang lain adalah sesuatu yang disukai dan diinginkan oleh nafsunya akan tetapi hal itu akan menghilangkan atau mengurangi perkara yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Apabila ternyata dia lebih memprioritaskan apa yang diinginkan oleh nafsunya di atas apa yang dicintai Allah ini berarti dia telah berbuat zalim dan meninggalkan kewajiban yang seharusnya dilakukannya” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 332).

Maka perhatikanlah wahai saudaraku kecenderungan dan gerak-gerik hatimu, jangan-jangan selama ini engkau telah menobatkan sesembahan selain Allah jauh di dalam lubuk hatimu; entah itu harta, kedudukan, jabatan, benda, atau sesosok manusia. Engkau mengharapkannya, menggantungkan cita-citamu kepadanya, takut kehilangan dirinya sebagaimana rasa takutmu kehilangan bantuan dari Allah ta’ala, sehingga keridhaannya pun menjadi tujuan segala perbuatan dan tingkah lakumu.

Halal dan haram tidak lagi kau pedulikan, aturan Allah pun kau lupakan. Aduhai, betapa malang orang-orang yang telah menjadikan makhluk yang lemah dan tak berdaya sebagai tumpuan harapan hidupnya. Sungguh benar Ibnul Qayyim rahimahullah yang mengatakan, “Sesungguhnya mayoritas penduduk bumi ini telah mengangkat selain Allah sebagai sekutu dalam perkara cinta dan pengagungan.” (dinukil dari Fathul Majid, hal. 320).

Semoga Allah menyelamatkan hati kita dari tipu daya Iblis dan bala tentaranya, dan semoga Allah meneguhkan hati kita untuk menjunjung tinggi kecintaan kepada-Nya di atas segala-galanya. Sebab tidak ada lagi yang lebih melegakan hati dan perasaan kita selain tatkala Allah ta’ala telah menetapkan cinta-Nya untuk kita, sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengabulkan doa. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi-Nya, segala puji bagi Allah Rabb penguasa seluruh alam semesta.


Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Dunia Pasti Berputar oleh Sastra Sang Pengembara pada 20 Oktober 2010 jam 15:06

Dunia pasti berputar Ada saatnya semua harus berubah Ingat pasti bertukar Kita harus siap hadapi semua Ikhlaskan segalanya Jalani semua yang ada di dunia
Dunia pasti berputar Ada saatnya semua harus berubah Ikhlaskan segalanya Jalani semua yang ada
Dunia pasti berputar Ada saatnya semua harus berubah Ingat pasti bertukar Kita harus siap hadapi semua Ikhlaskan segalanya Jalani semua yang ada
Tuhan pasti berikan kita Segala yang indah Dengan segala anugerah ‘tuk kita Yakinkan kita pasti bisa jalani semua Jagalah semua yang telah ada ‘tuk hidup kita
Dunia pasti berputar Ada saatnya semua harus berubah Ingat pasti bertukar Kita harus siap hadapi semua Ikhlaskan segalanya Jalani semua yang ada di dunia

Salahkah Aku Mempertanyakan Kesuciannya..?

Melihat fenomena yang kini semakin merajalelanya pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan yang hampir tidak ada lagi batasan, menganggap free seex  sesuatu yang lumrah, menjadikan kesucian  sesuatu barang yang langka..Inilah pengakuan sekaligus kegundahanku sebagai seorang laki-laki yang menginginkan kesucian itu disaat nanti aku ingin mendapatkannya pada orang yang halal olehku, aku yakin walaupun aku tak pernah melakukan survey paling tidak inilah yang mewakili kegelisahan seorang lelaki umumya seperti aku tentang calon isterinya kelak. Sekaligus hasil percakapanku dengan seorang Ustadz.

   Pada suatu ketika aku bertemu dengan seorang Ustad muda, di awali dari percakapan ringan sampai akhirnya percakapan ‘berat’. ”Kenapa antum tidak segera menikah, padahal usia antum sudah waktunya?”. Tanyanya padaku, mengawali perbincangan itu. “Ustad, lagi belum siap, hehehe” jawabku sekenanya. ”Kalau antum tidak siap dari sekarang kapan siapnya?”. Tidak aku jawab, hanya ku balas dengan senyum setengah nyengir.. wah iya deh, pertanyaan yang susah-susah  rumit untuk ku jabarkan..

“Ustad..sebenarnya ana ini masih ragu….. kalimatku terputus terhimpun keraguanku, ……..kalau melihat pergaulan yang sedemikian parahnya,apa ia suatu saat nanti aku akan mendapatkan seorang isteri yang masih suci,perawan ?”.Ustad hanya tersenyum .  Tau apa artinya, karena aku tak pernah menanyakan senyumnya itu…hehehe

   Aku pun bertanya lagi..”Bagaimana jika ana, suatu saat menanyakan tentang kesucian seorang cewek yang akan menjadi calon isteriku…apakah itu salah?”. Lantas pertanyaanku  tidak membuatnya lansung menjawab..justeru ia balik bertanya..”Lalu jika jawabannya ya, sudah tidak perawan, apakah akhirnya  antum tidak menikahinya, membatalkannya..?”.  Aku terdiam sejenak, lalu ku jawab “Ya itu aku bingung ustad,…kalau memang itu akhirnya aku tidak menjadikan ia menikah denganku, aku harap dia maklum, itulah resiko yang harus dia terima, kenapa dia sewaktu  melakukannya dengan orang lain tidak   pernah berfikir bagaimana nanti calon suaminya?, kalaupun akhirnya aku menerima keadaannya dengan berbagai hal dan pertimbangan,  ya mungkin aku akan meneruskan rencana itu, tapi rasanya berat untuk itu, membayangkannya saja aku hampir-hampir  gak berani ustad……

Seandainya ana menikah lalu ternyata isteriku tidak suci lagi tanpa kuketahui sebelumnya misalnya, apa ia aku bisa menerimanya dan mempertahankan dia menjadi isteriku…atau malah menjadi berantakan karena aku kecewa merasa di khianati dan tertipu…atau berjalan tetapi tidak mendapat ketenangan bagai neraka?! kekhawatiranku bukan tanpa alasan, aku dulu pernah punya teman, begitu ia menikah dan  mengetahui isterinya sudah tidak perawan lagi..ia marah besar..lalu kemarahannya ia lampiaskannya..dengan minuman dan perempuan-perempuan malam, kalau memang tidak terima kenapa tidak diceraikan saja, pikirku saat itu, tapi justeru kok  malah berbuat maksiat yg lebih hina…Ternyata ia ingin apa yang ia rasakan biar juga dirasakan isterinya…wow saat itu aku berfikir ngeri sekali….

Egoiskah aku, jika aku mengharapkan yang menjadi hakku sebagai seorang lelaki, sebagai seorang suami?, salahkah aku meminta sesuatu yang  juga sesuatu itu aku bisa berikan kepada isteriku yang tidak orang lainpun kuberikan?. Jika seorang  laki-laki yang bejat saja yang tak layak mendapatkannya juga menginginkah seperti apa yang ku inginkan?. Dari pertanyaan ini sang Ustad akhirnya,“sudahlah, berdoa dan berusahalah,semoga Allah memberikan apa yang kamu inginkan”. aku yakin dia juga bisa merasakan kegundahan seperti apa yag kurasakan sebagai seorang lelaki…

Lalu, sang Ustad bertanya,”Lantas menurut pendapat kamu, bagaimana dengan para janda yang menginginkan lagi suami yang baik-baik , jika semua laki-laki berfikiran seperti kamu untk mendapatkan yang harus masih perawan?” Aku menjawab,“Maaf ustad, jika janda baik-baik itu bagiku adalah wanita suci, karena ia menyerahkan yang memang menjadi hak suaminya, dia melakukannya dengan orang yang memang menjaga …kehormatannya. Bukan semata-mata ia masih perawan atau tidak, tapi terlebih bagaimana ia bisa menjaga dan mempertaruhkan  kehormatannya sebagai seorang wanita, untuk tidak diberikan pada orang yang bukan pemiliknya…. Tapi ini berbeda jika sudah tidak perawan tanpa status, terasa hilang harga diri seorang lelaki, terasa hina. Sang Ustad menganguk dan tersenyum membenarkannya.. … selintas aku teringat sebait tulisan dalam buku Perempuan Bidadari, yang di tulis oleh kucil kecil;
  kehormatan, “Mendapatkan perempuan yang masih gadis, perawan, suatu kehormatan yang tidak tergantikan, kawan! Masih murni.”

Wahai para wanita yang menjaga dan terjaga kehormatannya, pertahankanlah mahkotamu itu hingga datang seseorang kepadamu yang halal olehmu yakni suami-suamimu yang berhak mendapatkannya…untuk kebaikanmu

 Untuk engkau Wanita yang telah terlanjur menghilangkannya tanpa yang di halalakan Allah, segeralah bertobat dan memohon ampunan-NYA, semoga dengan kebaikan(pertaubatan) yang kamu lakukan itu ALLAH SWT. mendatangkan jodoh-jodoh yang baik untukmu…….





“ Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”. (An Nuur:26)

SUATU PAGI oleh Nur Qalbi pada 05 November 2010 jam 2:25

Suatu pagi aku terbangun dan berpeluang melihat mentari terbit. Aaah.. kecantikan alam ciptaan Allah memaang tiada tolok bandingnya. Sedang aku memerhati, aku puji Tuhan atas segala keindahan yang telah Ia sajikan ity.aku duduk dan terasa kehadiranNya di sisiku. Dia bertanya kepadaku, “Adakah kamu mencintai Aku?” Aku menjawab, “Sudah tentu! Engkaulah Penciptaku, masakan aku tidak mencintaiMu.” Kemudian Dia bertanya lagi, “Jika kamu ditakdirkan cacat anggota, adakah kamu akan mencitaiKu?” Akun tergamam seketika. Aku lihat tangan, kaki dan seluruh anggotaku; aku teringat pelbagai kerja yang mustahil aku lakukan tanpa anggotaku ini yang selama ini tidak kusedari kepentingannya. Kemudian aku jawab, “Tentunya ia amat sukar bagiku, tetapi aku akan tetap mencintaiMu.”

Kemudian Dia bertanya lagi, “Jika kamu ditakdirkan buta, adakah kamu akan menyayangi segala ciptaanKu?” Bagaimana mungkin bagiku untuk mencintai sesuatu yang di dunia ini yang tak mampu aku lihat? Kemudian aku berfikir...ramai orang yang ditakdirkan buta di dunia ini, dan mereka masih mencintai Allah dan segala ciptaanNya. Lantas aku menjawab, “Amat sukar bagiku membayangkan keadaanku yang sedemikina rupa, namun begitu aku akan tetap menyintaimu Ya Allah.” Dia bertanya lagi, “Jika kamu ditakdirkan pekak, adakah kamu akan tetap mendengar kepada kata-kataKu?” Bagaimana mungkin bagiku mendengar jika aku pekak? Kemudian aku tersedar bahawa mendengar itu tidak semestinya menggunakan telinga; tetapi menggunakan hati. Aku jawab, “Walaupun takdir itu amat berat bagiku, namun aku akan tetap menyintaiMu.” Dia menyambung lagi persoalanNya, “Jika kamu ditakdirkan bisu adakah kamu akan terus memujiKu?” Aku tertanya lagi, bagaimana aku boleh memuji tanpa suara? Aku terfikir kemudian yang Allah mahu kita memujiNya dari dalam hati dan jiwa kita; tidak penting bagaimanakah bunyinya. Kemudian aku menjawab, “Sungguhpun aku tidak mampu untuk mambunyikan pujian bagiMu, aku akan tetap memujiMu.” Dan...

Dia terus betanya lagi, “Adakah kamu benar-benar menyintaiKu?” dengan nada yang tegas dan penuh keberanian. Aku jawab dengan yakin, “Ya, benar Tuhanku, aku menyintaimu kerana Engkaulah satu-satunya Tuhanku dan Tuhan yang sebenar!” Aku fikir jawapanku tadi sudah cukup bagus untuk menjawab soalanNya tadi, tetapi Dia terus bertanyakan lagi, “Kalau begitu kenapa kamu masih melakukan dosa?” Aku jawab, “Kerana aku cuma manusia bisa yang selalu lalai; aku tidak sempurna...aku bukan maksum.” “Kalau begitu, kenapa ketika kamu senang dan gembira...kamu lupakanKu; kamu lari jauh daripadaKu? Dan kenapa ketika kamu susah dan mahukan bantuan...kamu terus ingat kepada Aku; kamu datang dekat dan merayu kepada Aku?” Aku tidak mampu berkata-kata. Yang kusedari...titisan panas turun membasahi pipiku.

Dia sambung lagi, “Mengapa kamu buat begini...kadang-kadang sujud menyembahKu, dan kemudian membelakangiKu; tidak pedulikanKu? Mengapa kamu hanya datang mencariKu hanya ketika kamu nengingatiKu? Mengapa kamu meminta kepadaKu sedang kamu tidak setia kepadaKu?” Kurasakan titisan panas mengalir derasmembasahi pipiku tanpa henti. “Mengapa kamu malu kepadaKu? Mengapa kamu tidak mahu menyebarkan suruhanKu? Mengapa ketika kamu dizalimi kamu adukan kepada yang lain sedang Aku sedia mendengar segala rintihanmu? Mengapa kamu sering membuat alasan ketika Aku memberimt peluang untuk berkhidmat di jalanKu?” Ku gagahi bibirku untuk mengucapkan patah-patah perkataan bagi menjawab segala soalan yang bertubi-tubi diajukan kepadaku. Tetapi aku tidak punyai jawapan bagi persoalan-persoalan tadi. Lidahku yang selama ini lancar berkata-kata, kini kelu. Otakku ligat mencari jawapan... atau alasan... namun tiada apa yang kutemui sebagai jawapan.

Dia berkata-kata lagi... “Kamu diberikan sebuah kehidupan. Aku jadikan dalam dirimu keistimewaan dan kelebihan berbanding orang lain untuk kamu berjuang di jalanKu, tetapi kamu tetap berpaling dari jalanKu. Aku tunjukkan kepadamu kata-kataKu sebagai panduan kamu dalam hidup ini, tetapi kamu tidak mahu mempelajari atau menghayatinya. Acap kali Aku berkata-kata kepadamu, tetapi kamu berpaling daripada melihatnya. Aku turunkan kepada kamu pesuruhKu, tetapi kamu tidak ambil peduli ketika sunnahnya ditinggalkan. Aku dengar segala permintaan dan rayuanmu kepadaKu... dan semuanya telah Aku perkenankan dengan pelbagai cara.” SambungNya lagi, “Kini... adakah kamu menyintaiKu?” Aku tidak mampu menjawabnya lagi.

Bagaimana harus aku jawab persoalan ini/. Dalam tak sedar, aku malu dengan segala apa yang telah aku lakukan selama ini. Aku tidak lagi punya alasan bagi menyelamatkan diriku. Apa yang boleh aku jawab bagi persoalan itu? Ketika hatiku berteriak menangis, dan bercucuran airmata mengalir turun di kedua-dua belah pipiku, aku merintih, “Oh Tuhanku... ampunkanlah segala dosaku. Aku tidak layak menjadi hambaMu Ya Allah...” kemudian Dia menjawab, “Sifatku pengampun...barangsiapa yang memohon keampunan dariKu, nescaya Aku ampunkannya. Dan Aku ampunkan kamu wahai hambaKu.” Aku bertanya kepadaNya, “Mengapa Engkau tetap mengampunkanku sungguhpun aku melakukan kesalahan berulangkali dan memohon ampun berulangkali? Sampai begitu sekalikah cintaMu terhadapku?” Dia menjawab “Kerana kamu adalah ciptaanKu. Aku sekali-kali tidak akan mengabaikanmu. Apabila kamu menangis aku akan bersimpati kepadamu dan mendengar segala rintihanmu. Apabila kamu melonjak kegirangan Aku akan turut gembira dengan kegembiraanmu. Apabila kamu berasa gundah dan kesepian, Aku akan memberikanmu semangat. Apabila kamu jatuh Aku akan membangkitkanmu. Apabila kamu keletihan Aku akan membantumu. Aku akan tetap bersama-samamu hinggalah ke hari yang akhir dan Aku akan menyayangimu selama-lamanya.”

Seingat aku... aku tidak pernah menangis sebegini. Aku sendiri tidak mengerti kenapa hatiku ini begitu keras; tidak mampu menangis menyesali segala dosaku selama ini. Dan..buat kali pertamanya dalam hidupku ini... aku benar-benar solat dalam ertikata yang sebenar. Wa’allahualam... 

KERANA UKHUWAH ITU INDAH oleh Fatin Nur Kamalia pada 23 November 2010 jam 23:58

Menyedari dirinya sudah terlambat untuk ke kelas Physiology, Qistina berlari-lari anak tanpa menghiraukan pelajar-pelajar lain yang sedang memerhatikan kegopohannya itu. “Tak kisahlah apa orang nak kata yang penting aku cepat sampai ke kelas Profesor Azlan. Kalau lambat setakat lima minit takpe lagi sekurang-kurangnya aku tak dihalau keluar kelas kerana lambat.” Qistina memujuk hati. “Hai Qistina. Awal kamu masuk kelas saya hari ini ye?.” Seperti yang dijangka Qistina, Profesor Azlan pasti menegurnya. “Sorry Prof.” Qistina melontarkan senyuman kelat sambil mencari-cari tempat kosong.

"Hey Qis! Apasal kau lambat hari ini? Tak pernah-pernah kau lambat. Pelik juga aku.” Gadis tinggi lampai dan berkulit kuning langsat menyapa Qistina yang masih sibuk merapikan nota-nota kuliah tadi. “Eh Irah, sekejap ya. Nanti saya jelaskan. Jumpa kat kafé ya Irah?” Irah sekadar mengangguk tanda paham dan sebentar kemudian berlalu meninggalkan Qistina yang masih lagi sibuk menyusun nota-notanya.

Qistina dan Zahirah merupakan sahabat baik sejak di sekolah menengah lagi. Tidak mereka sangkakan jodoh mereka berpanjangan sehingga dipertemukan sekali lagi untuk berjuang bersama mengejar cita-cita yang sama juga di tempat yang sama. Keakraban mereka kadang kala dilihat oleh teman-teman sekuliah sebagai sesuatu yang pelik.

“Bagaimana awak boleh berkawan dengan Irah tu Qis? Dia kasar dan kata-katanya juga kadang-kadang boleh buat orang terasa. Tak macam awak. Bagai langit dengan bumi!”

Qistina hanya tersenyum apabila ada antara teman-temannya yang menanyakan soalan seperti itu. Baginya, orang lain tidak perlu mengetahui apa yang dia rasa dan lalui tapi cukuplah Allah sahaja yang mengetahui betapa ikhlasnya dia meneruskan sebuah ikatan persahabatan tersebut. Siapapun Irah dan bagaimana sekalipun pandangan orang lain terhadap sahabat baiknya itu, dia tetap akan berdiri teguh untuk mempertahankan erti sebuah persahabatan yang telah lama dibina. Qistina amat menyayangi Irah yang sudah dianggap seperti adiknya sendiri.

“Assalamualaikum Irah”. Sapa Qistina pada Zahirah yang sedang asyik sekali meneguk ‘orange juice’ yang pastinya melegakan di saat cuaca panas terik seperti itu.

“Er waalaikumsalam. Ha sampai pun! Cepat bagitau apsal kau lambat tadi.” Irah menampakkan sikap kegopohannya. “Sabarlah awak, kalau ye pun bagilah saya ‘order’ dulu. ‘Jealous’ saya tengok awak asyik sekali meneguk ‘orange juice’ tu sampai saya datang pun awak tak perasan”. Seloroh Qistina dan kemudian dia berlalu untuk memesan air di gerai yang berdekatan. Irah terus meneguk ‘orange juice’ sambil dahinya berkerut menampakkan seribu tanda tanya pada riak wajahnya. Walaupun Zahirah sangat bersahaja dan sering didakwa sebagai seorang yang tidak mempunyai perasaan oleh teman-temannya namun jika sesuatu perkara yang melibatkan Qistina, dia pasti akan ke hadapan.

“Ha, air dah dapat, duduk pun dah sedap bukan main, sekarang baik kau cerita kalau tak aku takkan tegur kau untuk dua hari”. Ugut Irah. Mungkin sudah tidak sabar benar dia menantikan penjelasan daripada Qistina. “Er kenapa dua hari? Kenapa tak seminggu je?Sebulan ke?” Qistina ketawa kecil.

“Dua hari cukuplah. Nanti saya berdosa pula kerana memutuskan silaturrahim selama lebih tiga hari. Dah kau jangan nak buat lawak. Cerita cepat!” Bentak Irah. Qistina sebenarnya amat mengagumi Irah. Walaupun agak kasar namun Irah sangat rajin mempelajari ilmu agama dan setiap malam Jumaat Irah sering mengikuti Qistina pergi ke masjid berdekatan untuk menghadiri kuliah agama. Jadi tak hairanlah Irah banyak mengetahui pesanan-pesanan Nabi junjungan, Muhammad s.a.w.


“Irah, saya nak balik”. Qistina tiba-tiba bersuara. “Apa? Kau nak balik? Mana ada cuti. Cuti akhir semester lambat lagi. Kau kenapa Qis?Tiba-tiba je nak balik. Soalan aku apsal kau lambat tadi dah la kau tak jawab lagi”. Irah berleter panjang. “Irah, pagi tadi mak saya telefon. Katanya..” Qistina semakin tidak betah menahan hiba. Dia tertunduk kaku. Suasana tiba-tiba menjadi suram. Kafeteria semakin lengang dengan pelajar dan hanya tinggal mereka berdua.“Kenapa Qis? Apa yang mak kau kata? Irah yang kasar orangnya tiba-tiba menjadi lemah lembut dan mesra. Sambil mengangkat kepalanya, Qistina berkata “ Irah, ayah saya dah ‘pergi’ ”.

Tersentak Irah mendengar berita tersebut. Dia merapati Qistina dan memeluk erat sahabat baiknya itu.“Innalillah. Sabar ye Qis. Allah s.w.t lebih menyayangi ayah Qis.” Hanya itu yang mampu diucapkannya. Irah sudah sedia maklum akan keadaan kesihatan ayah Qistina yang lumpuh seluruh badan akibat serangan ‘stroke’ setahun yang lalu dan keadaan ayah Qistina semakin tenat sejak minggu lalu. Sejak ayah Qistina sakit, emaknyalah yang betungkus-lumus menguruskan keluarga. Mujurlah Qistina mendapat bantuan biasiswa. Setidak-tidaknya, dapat juga dia meringankan beban emaknya itu. Qistina juga sering mengikat perut dan berbelanja seminimal mungkin bagi menyimpan wang untuk dihantar kepada ibunya. Walaupun Irah dan Qistina bukan rakan sebilik, namun Irah sering berhubung dengan rakan sebilik Qistina mengenai keadaannya termasuklah makan minum Qistina. 

Irah terus memeluk erat tubuh longlai Qistina sambil menyeka air mata Qistina yang semakin galak menghujani pipi teman baiknya itu.”Kenapa ujian Allah buat saya begitu berat, Irah? Saya tak sanggup lagi menahannya Irah. Saya lemah. Kenapa harus saya yang menerima ini semua Irah?Allah tak sayangkan saya ke Irah? Apa dosa saya sehingga begini berat sekali ujian yang harus saya terima? Irah, saya rindu ayah saya.” Tangisan Qistina semakin tidak terbendung. 

“Qis, kau kena kuat. Tak boleh lemah macam ini. Kau ingat tak pesan Ustaz Rizal semasa kuliah agama minggu lepas? Walau apapun dugaan yang Allah turunkan buat kita, semua itu adalah untuk menguji sejauh mana kesabaran dan keikhlasan kita dalam menerima ketentuanNya. Ini takdir yang harus kau terima. Kita hamba-Nya sentiasa layak diuji. Kau, aku dan semua manusia tidak terlepas daripada ujian, hanya yang membezakan kita adalah bentuk ujian itu sendiri. Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang. Semua yang berlaku pasti ada hikmahnya. Mungkin Allah s.w.t tidak mahu ayah kau berperang dengan dirinya lagi dengan terus dihimpit rasa bersalah melihat kepayahan emak kau membesarkan kau adik-beradik sedangkan arwah tidak mampu menolong apa-apa. Ingat Qis, setiap yang hidup pasti akan kembali kepadaNya hanya masa yang menentukannya. Masa kita juga pasti akan tiba. Redha ye Qis. Berdoalah untuk ayah kau, Qis semoga rohnya ditempatkan di kalangan para solihin dan semoga kau akan bertemunya lagi di akhirat nanti.” Nasihat Irah apabila melihat Qistina sudah tidak mampu berkata-kata hanya linangan air mata menjadi saksi kesedihannya mengiringi pemergian ayah tercinta. 

Dua pekan sudah berlalu. Irah semakin gelisah seperti cacing kepanasan apabila kelibat Qistina tidak muncul-muncul juga. Setiap pagi dia pasti akan menunggu Qistina di lobi bangunan universiti kalau-kalau kelibat Qistina kelihatan di situ tapi hampa. “Mana budak ni. Dia tak nak ambil ‘exam’ ke? Lagi seminggu je tinggal ni. Kuliah dah la banyak tinggal”. Irah mengomel sendirian. Petang itu dia yang menghantar Qistina ke KL Sentral dan Terminal LCC. Mujur ‘flight’ ke Kelantan masih ada. 

Sejak itu Irah tidak mendengar lagi khabar berita daripada Qistina. Irah cuba menghubungi Qistina namun telefon bimbitnya dimatikan. “Dila, Qis ada ‘contact’ kau?” Sapa Irah apabila melihat kelibat Adilah, teman sebilik Qistina semasa berlegar-legar di lobi tersebut. “Sejak pagi itu, saya langsung tidak terima sebarang berita daripada Qis”. Balas Adilah. Sebenarnya, berita mengenai kematian ayah Qistina hanya diketahui Irah sahaja. Walaupun Adilah merupakan teman sebiliknya namun dia mendapat berita tersebut setelah dua hari keberangkatan Qistina ke kampung halamannya dan itupun melalui Irah bukan dari mulut Qistina sendiri. 

“Semasa Qistina sedang bersiap-siap untuk ke kuliah, tiba-tiba dia mendapat panggilan telefon daripada emaknya. Yang saya pelik lepas je mereka menamatkan perbualan, Qistina terduduk kaku di atas katil. Apabila ditanya dia kata tiada apa-apa. Dia mengelamun panjang sampai saya menyapanya kerana telah terlambat untuk ke kuliah,” Terang Adilah kepada Irah semasa diberitahu khabar mengenai pemergian ayah rakan sebilknya itu. “Ya Allah, tabahnya kau Qistina. Tak sangka aku dalam menerima khabar hiba itu kau masih boleh pergi ke kuliah, tersenyum dan berseloroh denganku sehingga aku sendiri tidak dapat membaca penderitaan yang kau tanggung. Maafkan aku Qis. Aku bukan sahabat yang terbaik buat kau. Maafkan aku” Irah bermonolog. 

“Ah tak boleh jadi ni, aku tak boleh diamkan diri sebegini. Apa tanggungjawab aku sebagai seorang sahabat? Takkan sekadar berdiam diri sedangkan sahabat baik yang selama ini banyak membimbingku sedang bermuram durjana. Aku mesti lakukan sesuatu. Sekurang-kurangnya aku tidak merasa bersalah pada diriku kerana membiarkan sahabatku sendirian menghadapi kesusahan. Aku mesti mencari tahu kenapa dia sudah lama tidak pergi ke kuliah.” Irah terus bermonolog dengan dirinya. 

Setelah ‘check in’, Irah duduk di suatu sudut tempat menunggu sementara menanti untuk berlepas. Pandangan Irah tertarik pada sepasang suami isteri ‘orang putih’ yang sedang bergurau senda dengan puteri mereka yang dalam perkiraan Irah berusia lima tahun. Terdetik rasa cemburu dalam dirinya apabila melihat telatah manja anak kecil itu sambil bergelak ketawa bersama ibu bapanya. “Apakah khabar mama saat ini? Dah lama aku tak menghubungi mama. Ya Allah, semoga mamaku sentiasa dalam perlindunganMu”. Doa Irah dalam-dalam.Tanpa disedari menitis air hangat di pipinya. 

Lamunannya terhenti lantaran terdengar pengumuman petugas yang mengarahkan para penumpang supaya beratur untuk menaiki pesawat. Irah segera menyeka air matanya sambil bergegas mengambil tempat di puluhan manusia yang sedang beratur menunggu giliran. Tidak seperti Qistina, Irah dibesarkan dalam keluarga yang agak mewah. Papanya memiliki sebuah perusahaan perkapalan yang berdiri teguh sehingga hari ini. Tapi sayang, kekayaan dan pangkat tidak menjamin kebahagiaan malah bisa menggelapkan mata dan hati yang mudah goyah dengan hasutan syaitan. Papa Irah sering tidak pulang ke rumah dan meninggalkan mamanya yang sedang berperang dengan penyakit kanser  peringkat akhir sendirian di rumah. 

“Gila! Berkasih-kasihan dengan perempuan yang hampir seusia dengan anak sendiri. Ah persetan semuanya! Biarlah papa dengan dunianya yang penting aku ada mama! Aku harus tabah untuk mama! Mama perlukan aku!” Bentak hatinya ketika melihat papanya berpegangan tangan bersama seorang perempuan muda yang berusia dalam lingkungan dua puluh lima tahun ketika dia sedang melewati sebuah pusat membeli belah. Ikutkan hati mahu sahaja dia menyerang perempuan tersebut tapi dia tahu itu hanya kerja yang sia-sia malah akan membuatkan dirinya malu. Namun, luluh benar hatinya itu apabila melihat papa yang diharapkan menerajui bahtera rumahtangga di samping memberi semangat buat mama yang sedang berperang dengan maut, berpeleseran dengan anak muda seusia dengan anak gadisnya. 


Qistinalah yang selama ini banyak mendorong Irah untuk terus kuat menghadapi ujian hidup yang pastinya tidak akan sepi mendampingi hambaNya. “Terima kasih Ya Allah kerana mengurniakanku teman sebaik Qistina di saat aku memerlukan tempat untuk mengadu”. Irah melakarkan rasa syukurnya. 

“Assalamualaikum”. Irah memberi salam. 

Sejurus kemudian, kedengaran orang menyambutnya dari dalam dan dengan perlahan-lahan daun pintu dibuka. 

“Wa’alaikumsalam. Oo Irah rupanya. Jemput masuk Irah”. 

Wanita dalam lingkungan empat puluhan itu mempelawa Irah masuk sambil menyalami tangan anak gadis itu. “Mak cik sihat? Salam takziah ye mak cik. Irah minta maaf kerana tidak dapat menghadiri pengebumian pak cik tempoh hari”. Irah meluahkan kekesalannya. “Alhamdulillah mak cik sihat. Terima kasih Irah. Takpe makcik faham Irah sibuk. Bakal doktorlah katakan. Irah duduk dulu ye nanti mak cik panggilkan Qistina”. Pelawa mak cik Esah kemudian berlalu ke mana pun Irah tidak tahu. 

Dia terus mengamati setiap sudut rumah itu. Sungguh sederhana malah baginya sungguh daif sekali. Kelihatan cahaya menembusi lubang-lubang kecil pada atap zink pondok usang tersebut. “Assalamualaikum Irah. Err..awak..” Sapa Qistina yang agak terkejut dengan kedatangan Irah. Lamunan Irah mati seketika. Dia lalu bangkit dan tanpa berlengah lagi dia terus memeluk erat tubuh Qistina. “Wa’alaikumsalam Qis. Kau sihat?” Irah semakin tidak tegar menahan tangis. Rindu benar dia dengan gadis kacukan Cina itu. “Alhamdulillah. Saya sihat. Awak? “. Sahut Qistina. “Alhamdulillah sihat juga. Tapi kenapa kau dah lama tak ke kuliah? Banyak yang kau dah tertinggal. Minggu depan dah nak ‘exam’. Semua orang risaukan kau, Qis.Banyak kali aku cuba hubungi kau tapi ‘handphone’ kau sentiasa ‘off’. Kenapa Qis?Kau ada masalah ke?”. Bertubi-tubi pertanyaan yang dilontarkan. 

“Maafkan saya Irah kerana menyusahkan awak sehingga sampai ke sini awak mencari saya. Maafkan saya”. Qistina tertunduk. Kelihatan manik-manik kaca gugur membasahi lantai kayu kediaman tersebut. “Qis, kenapa?” Irah menggenggam erat jari-jemari Qistina. “Irah maafkan saya. Saya tidak mampu lagi untuk meneruskan pengajian. Saya orang susah Irah. Saya nak berhenti.” Irah tersentak. Mukanya tiba-tiba menjadi merah dan bengis sekali sambil air mata tetap tidak henti-henti mengalir meraikan suasana suram petang itu. “Apa Qis? Kau nak berhenti? Kau ulang sekali lagi! Aku tak dengar!” Irah tiba-tiba menjadi marah.

“Maafkan saya Irah. Saya nak tolong mak saya. Biarlah adik-adik saya yang meneruskan cita-cita saya. Saya tak sanggup melihat mereka berhenti sekolah gara-gara kesempitan hidup yang kami alami. Mereka masih kecil dan tidak seharusnya menanggung penderitaan ini. Jadi biarlah saya yang berkorban. “Qis!Apa yang kau cakapkan ni? Kau sedar ke tak apa yang kau cakapkan ni?Kau tahukan kita tinggal setahun setengah je lagi untuk ‘graduate’? Kau tahukan bukan mudah untuk sampai ke tahap ni tapi senang-senang je kau nak mengalah sekarang! Kau kata nak tolong emak dan adik-adik kau tapi apa yang kau mampu buat? Kelulusan apa yang kau ada? Setakat jual kuih? Kerja kilang? Berapa sangat yang kau dapat untuk membantu adik-adik kau? Cukupkah Qis? Berbanding jika kau bertahan untuk setahun setengah je lagi."

Sambil memegang wajah Qistina, Irah menunjukkan ruang-ruang di rumah tersebut. “Kau tengok ni!Kau tengok atap ni .Mampukah kau mengubahnya menjadi atap genting? Mampukah kau mengubah papan-papan ini menjadi batu? Mampukah kau mengubah kehidupan kau sekarang dengan mengalah sebegini?.Aku tahu Qis, wang bukanlah tujuan utama ‘profession’ ini tetapi sifat kemanusiaan itu sendiri. Kalau kau masih ingat dulu kita sama-sama pernah membina impian ingin berkhidmat untuk agama dan bangsa terutama mereka yang susah. Apa kau sudah lupa?Kalau kau undur diri apalah nasib rakyat kita yang mengharapkan pertolongan kau suatu hari nanti Qis? Lupakah kau kerjaya ini yang kau idam-idamkan sejak kecil? Tidak semua orang berpeluang tapi bila kau dah sampai tahap ni senang je kau nak tinggalkan. Kau pentingkan diri sendiri Qis! Sampainya hati kau nak tanamkan jauh ke bumi harapan emak dan ayah kau!”Irah semakin hilang sabar. 

“Qis, aku dah malas nak cakap dengan kau lagi. Aku tak pernah ada sahabat yang cepat benar putus asa! Qistina yang aku kenal dulu sungguh tabah dan tidak pernah mengalah berperang dengan nasib hidup! Kalau profesor dan kawan-kawan tahu pasti mereka gelakkan kau, Qistina! Kau dah lupa kata-kata semangat yang pernah kau ungkapkan sebagai perangsang untuk aku terus bertahan melawan takdir hidup aku? Inikah Qistina yang amat aku kagumi dulu?” Irah terus lontarkan kekesalannya. “Irah, awak tak paham.” Qistina cuba membela diri. 

"Dah la Qis, aku tak nak dengar apa-apa lagi. Aku balik dulu. Ambillah nota-nota ni. Kalau kau rasa ianya berguna untuk kau, kau tahu apa perlu kau buat. Aku tak kisah bersusah-payah demi sahabat tapi kalau kau sendiri putus asa dengan nasib kau apa aku boleh buat. Kalau kau rasa masa depan kau, emak dan adik-adik kau masih ingin kau bela, kau bacalah dan aku tunggu kau di dewan peperiksaan minggu depan. Sungguh aku menyesal kerana terlalu mengharap pada orang yang tidak ada matlamat hidup ni. Kau buatlah apa yang kau rasa terbaik!Semoga kau berjaya, Qis. Assalamualaikum”. Irah berlalu tanpa sempat membenarkan sepatah kata daripada Qistina untuk membela diri. 

Air mata semakin galak menghujani pipi gebu Qistina. Pilu benar hatinya mengenangkan pengorbanan yang Irah hulurkan tapi berakhir dengan kekecewaan. “Maafkan saya Irah. Saya tak mampu. Maafkan saya”. Qistina menyesali diri sendiri. Sebentar lagi peperiksaan akhir semester tujuh akan bermula. Selepas ini mereka akan bersiap-siap pula untuk menjalani praktikum di hospital yang terpilih. Wajah setiap mahasiswa menampakkan kegelisahan. Ada yang lebam-lebam matanya akibat kurang tidur dan ada juga yang pucat lesu bagai mayat. Maklumlah inilah penentunya setelah bersusah payah selama hampir tiga tahun setengah untuk sampai ke tahap ini. Sesuatu yang pastinya bukan mudah.Segala pengorbanan dan kesungguhan tidak akan disia-siakan demi menggapai impian menjadi tunggak harapan bangsa dan agama. Semua pelajar mendapatkan tempat duduk masing-masing sesuai dengan angka giliran. Irah kelihatan sungguh gelisah dan acap kali juga dia melemparkan pandangan mencari-cari kelibat tubuh Qistina namun hampa. “Aku kecewa Qistina”. Irah tertunduk. 

“Baiklah semua pelajar, peperiksaan akan dimulakan lima minit lagi. Sila semak angka giliran dan maklumat yang tertera pada kertas jawapan. Pastikan semuanya betul.” Pesan Prof. Madina kepada pelajar-pelajarnya. 

“Prof! Maafkan saya kerana terlambat”. Pinta seorang mahasiswi yang agak kelam kabut dan sesekali dia menarik-narik nafas yang seakan sukar untuk dilepaskan.

Irah mengangkat kepalanya seolah-olah dia kenal benar akan suara tersebut.“Qistina! Alhamdulillah”. Irah menarik nafas lega. Dari jauh, Qistina melemparkan pandangan pada Irah dan mereka berbalas senyuman. “Terima kasih Irah. Kaulah sahabat saya di dunia dan mudah-mudahan di akhirat juga”. Kata Qistina pada Irah semasa keluar dari dewan peperiksaan. “InsyaAllah. Mudah-mudahan ukhwah ini sentiasa dalam perlindungan-Nya dan semoga kita sama-sama dapat menjadi seorang doktor yang beriman dan berbakti kepada masyarakat dan agama. InsyaAllah. Kita boleh!” Kata Irah penuh semangat. “Ya kita pasti boleh! Semangat!!” Sahut Qistina.

*edit from iluv islam

sebuah karya oleh Sastra Sang Pengembara pada 19 Oktober 2010 jam 22:02

kenapa kita menutup mata ketika kita tidur? ketika kita menangis? ketika kita membayangkan? itu karena hal terindah di dunia tdk terlihat
ketika kita menemukan seseorang yang keunikannya sejalan dengan kita, kita bergabung dengannya dan jatuh ke dalam suatu keanehan serupa yang dinamakan cinta.
Ada hal2 yang tidak ingin kita lepaskan, seseorang yang tidak ingin kita tinggalkan, tapi melepaskan bukan akhir dari dunia, melainkan suatu awal kehidupan baru, kebahagiaan ada untuk mereka yang tersakiti, mereka yang telah dan tengah mencari dan mereka yang telah mencoba. karena merekalah yang bisa menghargai betapa pentingnya orang yang telah menyentuh kehidupan mereka.
Cinta yang sebenarnya adalah ketika kamu menitikan air mata dan masih peduli terhadapnya, adalah ketika dia tidak memperdulikanmu dan kamu masih menunggunya dengan setia.
Adalah ketika di mulai mencintai orang lain dan kamu masih bisa tersenyum dan berkata ” aku turut berbahagia untukmu ”
Apabila cinta tidak bertemu bebaskan dirimu, biarkan hatimu kembalike alam bebas lagi. kau mungkin menyadari, bahwa kamu menemukan cinta dan kehilangannya, tapi ketika cinta itu mati kamu tidak perlu mati bersama cinta itu.
Orang yang bahagia bukanlah mereka yang selalu mendapatkan keinginannya, melainkan mereka yang tetap bangkit ketika mereka jatuh, entah bagaimana dalam perjalanan kehidupan. kamu belajar lebih banyak tentang dirimu sendiri dan menyadari bahwa penyesalan tidak seharusnya ada, cintamu akan tetap di hatinya sebagai penghargaan abadi atas pilihan2 hidup yang telah kau buat.
Teman sejati, mengerti ketika kamu berkata ” aku lupa ….” menunggu selamanya ketika kamu berkata ” tunggu sebentar ” tetap tinggal ketika kamu berkata ” tinggalkan aku sendiri ” mebuka pintu meski kamu belum mengetuk dan belum berkata ” bolehkah saya masuk ? ” mencintai juga bukanlah bagaimana kamu melupakan dia bila ia berbuat kesalahan, melainkan bagaimana kamu memaafkan.
Bukanlah bagaimana kamu mendengarkan, melainkan bagaimana kamu mengerti. bukanlah apa yang kamu lihat, melainkan apa yang kamu rasa, bukanlah bagaimana kamu melepaskan melainkan bagaimana kamu bertahan.
Mungkin akan tiba saatnya di mana kamu harus berhenti mencintai seseorang, bukan karena orang itu berhenti mencintai kita melainkan karena kita menyadari bahwa orang iu akan lebih berbahagia apabila kita melepaskannya.
kadangkala, orang yang paling mencintaimu adalah orang yang tak pernah menyatakan cinta kepadamu, karena takut kau berpaling dan memberi jarak, dan bila suatu saat pergi, kau akan menyadari bahwa dia adalah cinta yang tak kau sadari

untukmu yang ku rindu

bismiLLah....



Atas nama Allah yang Maha Mengetahui...
Atas nama Allah yang Maha Mengetahui...


Mataku berkaca, menangis saat tahu kau akan pergi meninggalkanku. Dan aku mencoba untuk menahannya karena aku tak mau kau melihatnnya. Saat kau meninggalkanku aku pun memejamkan mata, maka sebutir demi sebutir air mataku mengalir membasahi kedua pipi. Dengan penuh harap aku terus bertanya ‘apa ini sudah keputusan bulatmu untuk pergi??’

Setiap orang memiliki pilihan dan ini pilihanmu.. Akan ku simpan airmata ini untuk ku alirkan di sepertiganya malam saat berkhalwat dengan-Nya.

Kau takut niat tulusmu akan berubah saat mendengar kata-kata kekaguman dari diriku padamu. Untuk semangatmu, keberanianmu serta bakatmu. Dan satu hal lagi.. Kau melihat satu hal yang berbeda saat aku menatapmu. Berbeda dengan ukhtie yang lain saat menatapmu'
(Ya… Rayuan syetan amatlah lembut. Bahkan lebih lembut dari sutra yang pernah ku genggam)

Aku selalu memujimu, akan apa yang aku kagumi dari dirimu, namun apakah kau takut dari pujianku bisa menimbulkan kesombongan pada dirimu? Keyakinanmu semakin menguat saat membaca sms-sms dariku. Dari situ kau yakin bahwa aku menyimpan rasa untukmu..Kau takut aku mencintaimu hanya karena lebihmu dan aku akan kecewa saat tahu akan kurangmu.

Ketahuilah aku cinta padamu berdasarkan Illahi bukan karna nurani...

“apakah salah jika ada seorang wanita menyukai seorang lelaki”
itu hal yang manusiawi, yang hanya akan menjadi salah bila ketika rasa itu salah di letakkan.

Kau takut ketika shalat yang aku bayangkan adalah wajahmu. Ketika melakukan sesuatu yang aku harapkan adalah pujian darimu. Bahkan sebelum tidur pun yang aku bayangkan adalah wajahmu. Maka… pahamilah, saat ini kau hanya lah penguat sisi hati ku yang lain.

Ketahuilah bahwa dia yang aku inginkan untuk menemaniku di penghujung mudaku yaitu yang mencintaiku tak melebihi cintanya pada Allah, mengikhlaskanku berjihad di jalan Allah. Bermesra denganku tak melebihi mesranya Ia ketika di sepertiganya malam bersama Allah. Yang kokoh imannya, teguh pendiriannya dan mampu menjadi imam untukku dan anak-anakku kelak agar tumbuh menjadi anak-anak yang taat pada Allah dan berbakti pada kedua orangtuanya.

Jika memang Allah takdirkan kamu untukku maka sejauh mana kapal itu berlabuh pasti akan datang jua. Namun jika tidak, maka akan ku yakini bahwa janji Allah lebih baik dari yang aku duga.

Kan selalu ku jaga diri ini agar menjadi wanita sholeha yang baik karna Allah hanya menyiapkan lelaki yang baik untuk wanita yang baik. Yang berhak melihat seutuhnya diriku tanpa adanya hijab lagi.

“Aku merindukan menjadi bidadari untukmu di Syurga kelak”

Cobaan yang meresahkanku ini adalah teguran dari sang Khalik untukku dan aku tak meminta untuk di kurangi cobaan itu tp agar kau diberi punggung yang kokoh agar kau mampu menopangnya. Engkau sangat baik padaku namun aku tak dapat mencintaimu melebihi cintaku pada saudara-saudaraku yang lain karena belum saatnya untuk kulebihkan porsi cintaku padamu. Yang ada di hatiku sekarang dan kulebihkan cintaku adalah Allah dan Rosulnya kemudian Kedua Orangtuaku, kakak-kakak perempuanku yang sangat aku sayangi dan kakak laki-lakiku...

Tetaplah tersenyum dan menjadi bintang dan bulan yang kokoh di langit yang menerangi malam-malam ku. Teruskan perjalanan ini meski badai terus menerpa…

Dari Orang yang merindukan bertemu denganmu di Syurga..


copast dari sebuha grup islami (Artikel, Renungan, Kisah Motifasi II)